Kamis, 07 April 2016

ALIRAN-ALIRAN TEOLOGI ISLAM



BAB II
PEMBAHASAN
A.           Khawarij
1.      Latar belakang munculnya khawarij
Secara etimologis kata Khawarij, خوارج berasal dari bahasa Arab, yaitu Kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Berdasarkan pengertian etimologi ini pula, khawarij berarti setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat Islam.
Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminologi ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim), dalam perang Shiffin pada tahun 37 H/648 M, dengan kelompok Bughot (pemberontak) Mu’awiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan Khilafah. Kelompok Khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada di pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah yang sah yang telah di ba’iat mayoritas umat Islam, sementara Mu’awiyah berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah.

2.      Sekte-sekte dan ajaran-ajaran khawarij
Menurut Al Syahrastani, sekte-sekte dari aliran khawarij yang terkenal antara lain :
a.      Al – Muhakkimah
Golongan Khawarij asli dan terdiri dari pengikut-pengikut ‘Ali, disebut golongan Al-Muhakkimah. Bagi mereka, ‘Ali, Mu’awiyyah, kedua pengantara ‘Amr Ibn al-‘As dan Abu Musa al-Asy’ari dan semua orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Selanjutnya hukum kafir ini mereka luaskan artinya sehingga termasuk ke dalamnya tiap orang yang berbuat dosa besar.
b.      Al-Azariqah
Ini adalah barisan baru setelah Al – Muhakkimah hancur. Nama sekte ini diambil dari Nafi’ Ibn Al-Azraq. Sekte ini lebih radikal dari Al-Muhakkimah, mereka tidak lagi memakai term kafir, tetapi term musyrik atau polytheist. Dan dalam Islam, syirk atau polytheisme merupakan dosa yang terbesar. Mereka memandang semua orang Islam yang tak sepaham dengan mereka adalah musyrik. Bahkan orang Al-Azariqah tetapi tidak mau berhijrah ke lingkungan mereka juga dipandang musyrik.
c.       Al-Najdat
Al Najdat adalah mereka yang tergolong sebagai pengikut Najdah bin amir Al Hanafi. Mereka berasal dari Yamamah. Diantara paham-pahamnya adalah sebagai berikut :
  1. Orang yang berbuat dosa besar yang bukan dari golongan mereka dianggap kafir dan akan masuk neraka, tetapi kalau dari golongannya, betul akan mendapat siksa hanya saja bukan di neraka dan kemudian masuk surga.
  2. Dosa kecil akan menjadi dosa besar kalau dikerjakan secara terus menerus dan orang yang memperbuatnya telah menjadi kafir
  3. Wajib bagi setiap orang Islam mengetahui Allah dan Rasul-Nya, haram membunuh orang-orang Islam dan percaya terhadap seluruh wahyu Allah sebab menyalahi yang demikian itu tidak mungkin akan mendapat ampunan-Nya.
  4. Mengerjakan sesuatu yang haram tetapi tidak diketahui tentang haramnya , hal itu dapat dimaafkan.
d.      Al-Ajaridah
Mereka adalah pengikut Abdul Karim Bin Ajrad. Kaum Ajaridah ini lebih lunak karena menurut paham mereka berhijrah bukanlah kewajiban sebagaimana diajarkan oleh Nafi’ Ibn Al Azraq dan Naadjah, melainkan kebajikan. Dengan demikian kaum Ajaridah boleh tinggal di luar daerah kekuasaan mereka tidak dianggap kafir.
e.       Al-Ibadiyah
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh golongan Khawarij, namanya diambil dari Abdullah Ibn Ibad yang pada tahun 686 M, memisahkan diri dari golongan Al-Azariqah. Paham moderat mereka antara lain :
·         Orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan musyrik, melainkan kafir. Dengan orang yang demikian itu boleh diadakan hubungan perkawinan dan warisan, syahadat mereka dapat diterima dan membunuh mereka adalah haram.
·         Daerah orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka kecuali camp pemerintah merupakan dar tawhid.
·         Mengerjakan dosa besar tidak membuat orang keluar dari Islam.
·         Yang boleh dirampas dalam perang adalah kuda dan senjata. Emas dan perak di kembalikan ke pemiliknya.

f.       As-Sufriyah
Pemimpin golongan ini adalah Zaid Ibn Al – Asfar. Dalam paham, mereka dekat dengan Al – Azariqah. Hal ini menyebabkan As – Sufriyah merupakan golongan yang ekstrim. Akan tetapi ada hal – hal yang membuat mereka kurang ekstrim dari yang lain, yaitu :
·         Orang Sufriyah yang tidak berhijrah tidak dipandang kafir
·         Mereka tidak setuju anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh.
·         Tidak semua orang yang berbuat dosa besar menjadi musyrik.
·         Daerah yang tidak sepaham bukan dar harb, yaitu daerah yang harus diperangi.
·         Term kafir tidak selamnya harus berarti keluar dari Islam.
Adapun pendapat yang spesifik bagi mereka, yaitu :
·         Taqiah hanya boleh dalam bentuk perkataan dan tidak dalam bentuk perbuatan.
·         Perempuan Islam boleh kawin dengan lelaki kafir untuk keamanan dirinya, di daerah bukan Islam.
Pecahan aliran khawarij tersebut berkembang lagi menjadi golongan-golongan baru, seperti Baihasiyah, Shaltiyah, Maimuniyah, Hamziyah, Khalafiyah, Atharafiyah, Syu’aibiyah, Hazimiyah, Tsa’libah, Aknasiyah, Ma’badiyah, Rusyaidiyah, Mukramiyah, Ma’lumiyah, Majhuliyah, Bid’iyah, Hafshiyah, Haritshiyah, Yazidiyah, dan Ziyadah Shufriyah

B.     Murjia’ah
1.      Latar belakang munculnya Murji’ah
Nama Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Selain itu arja’a berarti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu Murji’ah, artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersangketa, yakni ‘Ali dan Mu’awiyah serta masukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.
Murji’ah sebagai suatu aliran teologi dalam Islam, merupakan reaksi terhadap paham-paham yang dilontarkan oleh aliran al-khawarij, suatu paham dalam teologi Islam yang dikembangkan oleh segolongan pengikut Ali bin Abi Thalib, yang tidak menyetujui gencatan senjata dalam perang Shiffin melawan Muawiyah. Kaum al-Khawarij ini pada mulanya menyokong ‘Ali, kemudian berbalik memusuhinya. Kaum al-Khawarij juga memusuhi Mu’awiyah, bahkan mengkafirkan siapa saja yang terlibat dalam peristiwa tahkim antara ‘Ali dan Mu’awiyah. Mereka semua dianggap telah melakukan dosa besar yang berarti telah keluar dari Islam. Dengan demikian, mereka menjadi kafir dan harus diperangi. Golongan al-Khawarij ini keras dalam aturan keberagamaan, pandangan hidup mereka senantiasa disesuaikan dengan hukum-hukum Allah Doktrin mereka ialah barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, termasuk orang kafir. Mereka menganggap dirinya satu-satunya golongan yang kuat dalam memegang semua ajaran dan hukum Islam.
Dalam pertentangan semacam ini, muncul golongan al- Murji’ah yang ingin bersikap netral dan tidak mau turut dalam praktik kafir, mengkafirkan diantara golongan yang bertentangan itu. Kaum al-Murji’ ah tidak mengeluarkan siapa yang sebenarnya bersalah. Mereka memandang lebih baik menunda penyelesaian persoalan mereka kepada Tuhan di akhirat kelak.

2.      Sekte-sekte dan ajaran Murji’ah
Harun Nasution secara garis besar menglasifikasikan Murji’ah menjadi dua sekte, yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim
a.       Murji’ah moderat berpendirian bahwa pendosa besar tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula kekal di dalam neraka. Mereka disiksa sebesar dosanya, dan bila diampuni oleh Allah sehingga tidak masuk neraka sama sekali. Iman adalah pengetahuan tentang Tuhan dan Rasul-rasul-Nya serta apa saja yang datang dari-Nya secara keseluruhan namun dalam garis besar. Iman ini todak bertambah dan tidak pula berkurang. Tak ada perbedaan manusia dalam hal ini. Penggagas pendirian ini adalah Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadis
b.    Adapun yang termasuk kelompok ekstrim adalah Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah, dan Al-Hasaniyah. Pandangan tiap-tiap kelompok itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
a.       Jahmiyah, kelompok Jahm bin Shafwan dan pra pengikutnya, berpendapat iman dan kufur bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia.
b.      Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan, sedangkan kufur adalah tidak tahu Tuhan.
c.       Yunusiyah dan Ubaidiyah, berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik (politheist).
d.      Hasaniyah menyebutkan bahwa jika seseorang mengatakan, “Saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah Ka’bah di India atau tempat lain.

C.    Syiah
1.      Latar belakang munculnya Syiah
Syi’ah dilihat dari bahasa berarti pengikut, pendukung, partai, atau kelompok, sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk pada keturunan Nabi Muhammad saw. atau irang disebut sebagai ahl al-bait. Poin penting dalam doktrin Syi’ah adalah pernyataan bahwa segala petunjuk agama itu bersumber dari ahl-bait. Mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang bukan ahl al-bait atau para pengikutnya.
Menurut Thabathbai, istilah Syi’ah untuk pertama kalinya ditunjukan pada para pengikut Ali (Syi’ah Ali), pemimpin pertama ahl al-bait pada masa Nabi Muhammad SAW, Para pengikut Ali yang disebut Syi’ah itu diantaranya adalah Abu Dzar Al-Ghiffari, Miqad bin Al-Aswad, dan Ammar bin Yasir.
Pendapat yang paling popular tentang lahirnya golongan Syiah adalh setelah gagalnya perundingan antara Ali bin Abi Talib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan di Siffin. Perundingan ini diakhiri dengan tahkim atau arbitrasi.[3]) Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan Ali memberontak terhadap kepemimpinannya dan keluar dari pasukan Ali. Mereka itu disebut golongan Khawarij atau orang-orang yang keluar, sedangkan sebagian besar pasukan yang tetap setia kepada Ali disebut Syiah atau pengikut Ali.

2.      Sekte Syi’ah dan ajarannya
Beberapa sekte aliran Syiah, di antaranya adalah sebagai berikut:
a.       Sekte Imamiyah
Sekte ini adalah golongan yang meyakini bahwa Nabi Muhammad saw. telah menunjuk Ali bin Abi Thalib menjadin pemimpin atau imam sebagai pengganti beliau dengan petunjuk yang jelas dan tegas. Oleh karena itu, sekte ini tidak mengakui kepemimpinan Abu Bakar, Umar, dan Usman. Sekte Imamiyah pecah menjadi beberapa golongan. Golongan terbesar adalah golongan Isna Asy’ariyah ata Syiah Duabelas. Golongan kedua terbesar adalah golongan Ismailiyah. 
b.      Sekte Kaisaniyah
Kaisiniyah adalah sekte Syiah yang mempercayai Muhammad bin Hanafiah sebagai pemimpin setelah Husein bin Ali wafat. nama Kaisaniyah diambil dari nama seorang budak Ali yang bernama Kaisan.
c.       Sekte Zaidiah
Sekte ini mempercayai kepemimpinan Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin sebagai pemimpin setelah Husein Bin Ali wafat. dalam Syiah Zaidiyah, seseorang dapat diangkat sebagai imam apabila memenuhi lima kriteria. Kelima kriteria itu adalah keturunan Fatimah binti Muhammad saw. berpengatuhan luas tentang agama, hidupnya hanya untuk beribadah, berjihad di jalan Allah dengan mengangkat senjata, dan berani. Selain itu sekte ini mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
D.    Qadariah
1.      Latar belakang munculnya Qadariah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata قَدَرَ yang artinya kemampuan dan kekuatan. Secara terminologi, qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan . Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian diatas, dapat dipahami bahwa qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Harun Nasution menegaskan bahwa kaum qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan .
Seharusnya, sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Namun sebutan tersebut telah melekat pada kaum sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak .
Tentang kapan munculnya faham Qadariyah dalam Islam, tidak dapat diketahui secara pasti. Namun, ada beberapa ahli teologi Islam yang menghubungkan faham qadariyah ini dengan kaum Khawarij. Pemahaman mereka (kaum khawarij) tentang konsep iman, pengakuan hati dan amal dapat menimbulkan kesadaran bahwa manusia mampu sepenuhnya memilih dan menentukan tindakannya sendiri. Menurut Ahmad Amin seperti dikutip Abuddin Nata, berpendapat bahwa faham qadariyah pertama sekali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy . Sementara itu Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, memberi informasi lain bahwa yang pertama sekali memunculkan faham qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi ke agama Kristen. Dari orang inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini . Orang Irak yang dimaksud, sebagaimana dikatan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al-Auzai, adalah Susan.
2.      Sekte qadariah
Seperti faham dalam ilmu kalam lainnya, faham Qadariyah pun terpecah menjadi beberapa kelompok. Banyak pendapat tentang perpecahan Qadariyah ini, diantaranya dikatakan bahwa faham Qadariyah terpecah menjadi dua puluh kelompok be¬sar, yang setiap kelompok dari me¬reka mengkafirkan kelompok yang lain¬nya. Dua puluh aliran dari Qadariyah itu adalah Washiliyah, ‘Amru¬wiyah, Hudzaliyah, Nazhamiyah, Murda¬riyah, Ma‘mariyah, Tsamamiyah, Jahizhi¬yah, Khabithiyah, Himariyah, Khiyathi¬yah, Syahamiyah, Ashhab Shalih Qub¬bah, Marisiyah, Ka‘biyah, Jubbaiyah, Bahsyamiyah, Murjiah Qadariyah. Dari Bahsyamiyah lahir pula aliran besar, yakni Khabithiyah dan Himariyah. 
Dan sesungguhnya Qadariyah terpecah-pecah menjadi golongan yang banyak, tidak ada yang mengetahui jumlahnya kecuali Allah, setiap golongan membuat madzhab (ajaran) tersendiri dan kemudian memisahkan diri dari golongan yang sebelumnya. Inilah keadaan ahlul bid’ah yang mana mereka selalu dalam perpecahan dan selalu menciptakan pemikiran-pemikiran dan penyimpangan-penyimpangan yang berbeda dan saling berlawanan. 
Namun berapa banyak pun jumlah golongan dari hasil perpecahan penganut faham Qadariyah, tetap saja hal ini berujung dan bersumber pada tiga pemahaman. 
Golongan Qadariyah yang pertama adalah mereka yang mengetahui qadha dan qadar serta mengakui bahwa hal itu selaras dengan perintah dan larangan, mereka berkata jika Allah berkehendak, tentu kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukanNya, dan kami tidak mengharamkan apapun. 
Yang kedua, Qadariyah majusiah, adalah mereka yang menjadikan Allah berserikat dalam penciptaan-penciptaan-Nya, sebagai mana golongan-golongan pertama menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah dalam beribadat kepadanya, sesungguhnya dosa-dosa yangterjadi pada seseorang bukanlah menurut kehendak Allah, kadang kala merekaberkata Allah juga tidak mengetahuinya. 
Dan yang ketiga Qadariyah Iblisiyah, mereka membenarkan bahwa Alah merupakan sumber terjadinya kedua perkara (pahala dan dosa) Adapun yang menjadikan kelebihan dari paham ini membuat manusia menjadi kreatif dan dinamis, tidak mudah putus asa, ingin maju dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, namun demikian mengeliminasi kekuasaan Allah juga tidak dapat dibenarkan oleh paham lainnya (Ahlussunah wal jamaah).
Sedangkan dalam segi pengamalan Qadariyah terbagi dua, yaitu: Qadariyah yang ghuluw (berlebihan) dalam menolak takdir, dan Qadariyah yang ghuluw (berlebihan) dalam menetapkan takdir. 

E.     Jabariyah
1.         Latar belakang munculnya Jabariyah
Jabariyah berasal dari kata جبر yang mengandung arti memaksa. Menurut al-Syahrastaniy, al-ajbar berarti meniadakan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkan perbuatan itu kepada Tuhan. Menurut faham ini, manusia tidak kuasa atas sesuatu. Oleh karena itu manusia tidak dapat diberi sifat “mampu” (إِسْتِطَاعَ).
Tokoh yang dikenal sebagai pencetus paham jabariyah adalah Ja’ad ibn Dirham (wafat 124 H) di Zandaq, kemudian paham ini disebarluaskan oleh Jahm bin Sofwan. Karena itu faham ini kadang-kadang disebut Al-jahamiyah. Manusia, sebagaimana dikatakan Jahm bin sofwan, terpaksa atas perbuatan-perbuatannya, tanpa ada kuasa (qudrah), kehendak (iradah), dan pilihan bebas (ikhtiyar). Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia, sebagaimana Tuhan atas benda-benda mati. Demikian menurut faham ini pula.
Berkaitan dengan ini al-syahrastaniy menyatakan bahwa aliran Jabariyah terbagi atas dua: Jabariyah ekstrim dan jabariyah moderat. Adapun yang pertama menyatakan bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan kekuasaan untuk berbuat, dan perbuatan yang dilakukannya tidak disandarkan pada dirinya. Paham inilah yang dikenal secara umum. Adapun yang kedua berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan dan kekuasaan untuk melakukan perbuatannya, dalam arti bukan karena dipaksa. Kemampuan yang telah diciptakan dalam diri manusia memantulkan diri pada perbuatan-perbuatannya. Inilah yang disebut kasab. Oleh karena itu, para penulis mu’tazilah memasukkan aliran Ahlussunnah dan Asy’ariyah ke dalam kelompok Jabariyah, meskipun hal itu tidak diterima oleh para penulis Asy’ariyah. Seperti diketahui, Asy’ariyah mempunyai konsep kasb, sehingga menolak dikatakan sebagai berpaham Jabariyah.
2.                                                                                             Sekte Jabariah
Jabariyah berpendapat bahwa hanya Allah swt. Sajalah yang menentukan dan memutuskan segala amal perbuatan manusia. Semua perbuatan itu sejak semula telah diketahui Allah swt. Dan semua amal perbuatan itu adalah berlaku dengan kodrat dan iradat-Nya.
Pembalasan surga dan neraka itu bukan sebagai ganjaran atas kebaikan yang diperbuat manusia sewaktu hidupnya, dan balasan kejahatan yang dilarangnya. Akan tetapi surga dan neraka itu semata-mata sebagai bukti kebesaran Allah swt. dalam kodrat dan iradat-Nya.
Beberapa ajaran jabariyah antara lain:
Ø  Surga dan neraka akan fana, tdk ada sesuatupun yang kekal selamanya. Kekekalan yang disebut dalam al-Quran adalah masa yang panjang, tetapi setelah itu akan binasa, bukan kekal mutlak.
Ø  Iman adalah pengenalan (ma’rifah) dan kekufuran adalah kebodohan (al-jahl). Konsekuensi pandangan seperti itu ialah orang-orang Yahudi yang mengenal sifat-sifat nabi adalah orang mukmin, demikian pula halnya dengan orang-orang musyrik yang menentangnya tetapi di dalam hati mereka meyakininya.
Ø  Al-Quran adalah makhluk (baru), tidak Qadim.
Ø  Allah bukan sesuatu, tidak pula mempunyai sifat.
Ø  Tuhan tidak dapat dilihat dihari kemudian.

F.     Mu’tazilah
1.         Latar belakang munculnya Mu’tazilah
Mu’tazilah adalah aliran-aliran yang membawa persoalan-persoalan teologi islam yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawah oleh khawarij dan murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis islam”.
Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata إِعْتَزَلَ berarti menjauhkan, mengenyampingkan, atau memisahkan diri. Berbeda-beda pendapat orang tentang sebab-munasab timbulnya firqah mu’tazilah itu. Sebenarnya term mu’tazilah sudah muncul pada pertengahan abad pertama Hijriyah. Istilah ini digunakan untuk orang-orang (sahabat yang memisahkan diri atau bersikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik yang terjadi setelah Utsman bin ‘Affan wafat.
Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Munculnya aliran Mu’tazilah sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murjiah mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar. Menurut orang Khawarij, orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara itu, kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi kedua pendapat yang kontroversial ini, Wasil bin Atha' yang ketika itu menjadi murid Hasan Al-Basri, seorang ulama terkenal di Basra, mendahalui gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di antara keduanya. Oleh karena di akhirat nanti tidak ada tempat di antara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan dari siksaan orang kafir.
2.                  Sekte Mu’tazilah
Ø  Ketauhidan
Mu’tazilah menafikan dan meniadakan Allah Ta’ala itu bersifat dengan sifat-sifat yang azali dari ilmu, qudrat, hayat dan sebagainya sebagai dzat-Nya.
Perkataan yang mengatakan bahwa Allah itu mempunyai sifat-sifat yang qadim, akan menunjukkan bahwa Allah itu berbilang. Padahal Allah Maha Esa, Tiada yang menyekutuinya satupun juga. Dan tidaklah sekali-kali dzat-Nya itu banyak atau berbilang. Allah tidak seperti sesuatu apapun, Allah tidak berjisim, tidak bersifat, tidak berunsur, dan tidak juga berjauhan.
Mu’tazilah mentakwilkan segala ayat-ayat yang mengandung pengertian tentang Allah itu bersifat, sifat-sifat itu dapat membawa faham bahwa Allah itu sama dengan makhluk-Nya. Karena Alah tidak sama dengan makhluk-Nya ( المخالفة للحوادث)
Ø  Dosa Besar
Orang Islam yang mengerjakan dosa besar, yang sampai matinya belum taubat, orang tersebut dihukumi tidak kafir dan tidak pula mukmin, tetapi diantara keduanya itu. Mereka itu dinamakan orang ”fasiq”. Berhaklah mereka masuk ke neraka karena kefasikannya dan kekal-lah mereka di neraka itu. Karena menurut pendapat aliran Mu’tazilah, orang yang demikian itu tidak kafir dan tidaklah mukmin, jadi ada suatu tempat tersendiri diantara keduanya untuk mereka yang melakukan dosa besar.  
Ø    Qadar
Mereka berpendapat : Bukanlah Allah yang menjadikan segala perbuatan makhluk, tetapi makhluk itu sendirilah yang menjadikan dan menggerakkan segala perbuatannya. Oleh karena itulah, mereka di beri dosa dan pahala.
Aliran Mu’tazilah mempertahankan adanya ”kemauan” dan ”kebebasan pilihan”, karena mereka hendak menyelamatkan prinsip ”keadilan Tuhan”, yang tidak mungkin memberi pahala atau siksa kecuali atas perbuatan-perbuatan yang keluar dari manusia itu sendiri, yang tahu akan perbuatannya dan menghendakinya pula.
Aliran Mu’tazilah memberikan alasan-alasan tentang adanya kebebasan pilihan pada manusia sebagai berikut :
a. Rasa kebebasan
Manusia merasakan sendiri dalam hatinya akan terjadi perbuatan menurut motif dan dorongannya. Kalau mau bergerak bergeraklah dia, dan kalau mau diam, diamlah dia. Motif dan dorongan menimbulkan ’azam (keputusan untuk berbuat), yang merupakan syarat utama bagi perbuatan bebas, karena apa yang disebut ”kemauan” tidak lain hanya kecondongan jiwa akan sesuatu perbuatan.
b. Adanya taklif (perintah pembebanan)
anji dan ancaman dipertalikan dengan taklif, yaitu suatu tuntutan kepada manusia untuk memenuhinya. Taklif tidak mungkin diadakan kecuali apabila seseorang mukallaf bebas dan sanggup melaksanakannya. Taklif tidak akan ada artinya, baik yang datang dari Tuhan maupun yang datang dari akal-pikiran.
Ø Kedudukan Akal
Sepanjang sejarah tersebut bahwa salah satu keistimewaan bagi kaum Mu’tazilah ialah cara mereka membentuk madzhabnya, banyak mempergunakan akal dan lebih mengutamakan akal, bukan mengutamakan Al Qur’an dan Hadist.
Kalau di timbang akal dengan hadist nabi Muhammad SAW, maka akal lebih berat bagi mereka. Mereka lebih memuji akal mereka di banding dengan ayat-ayat suci dan hadist-hadist nabi.
Barang sesuatu ditimbangnya lebih dahulu dengan akalnya, mana yang tidak sesuai dengan akalnya di buang, walaupun ada Hadist atau ayat Al Qur’an yang bertalian dengan masalah itu tetapi berlawanan dengan akalnya.
Semua itu dapat di lihat dari ciri-ciri kaum Mu’tazilah yang suka berdebat, terutama di hadapan umum, barang siapa yang berlainan pendapatnya dengan mereka lantas di ajak berdebat, di ajak bertanding di hadapan umum, karena mereka sangat yakin dengan kekuatan akal mereka, padahal pemikiran mereka ini ternyata banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur luar, antara lain dari kalangan orang-orang yahudi dan juga pemikiran filsafat Plato dan Aristoteles di dalam filsafat Yunani.
Sebagai contoh, tentang Mi’raj nabi Muhammad SAW, kaum Mu’tazilah tidak menerima adanya Mi’raj walaupun ada ayat Al Qur’an atau Hadist nabi yang shahih menyatakan hal itu, karena hal itu katanya bertentangan dengan akal.
Kaum Mu’tazilah menolak adanya bangkit dari kubur dan siksa kubur. Hal itu – katanya – bertentangan dengan akal, karena mustahil orang yang sudah mati dan terbaring dalam tanah yang sesempit itu dibangunkan dan di suruh duduk, walaupun ada hadist shahih yang menyatakan hal ini.
Oleh karena itu, kaum Mu’tazilah dalam kitab-kitab tafsirannya mencoba menafsirkan Al Qur’an dengan akal dan memutar ayat-ayat suci itu dengan akalnya. Bahkan kaum Mu’tazilah berpendirian dengan pernyataan mereka bahwa Al Qur’an itu makhluk adalah berkaitan dengan pendiriannya bahwa Allah swt. tidak bersifat. Hal tersebut di tentang oleh kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah terutama oleh Syeikh Imam Buwaithi, yang pada akhirnya di bunuh oleh kaum Mu’tazilah di dalam peristiwa yang di beri nama ”Peristiwa Qur’an Makhluk”.


G.    Ahlusunnah wa al Jamaah
1.                                                                                   Latar belakang munculnya Ahlussunnah wa al Jamaah
Arti Ahlussunnah ialah penganut Sunnah Nabi. Arti wal jama’ah ialah penganut I’tiqad sebagai I’tiqad Jama’ah sahabat-sahabat Nabi. Kaum ahlussunah wal Jam’ah ialah kaum yang menganut I’tiqad sebagai I’tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabat beliau. I’tiqad nabi SAW dan sahabat-sahabat itu telah termaktub dalam Al Qur’an dan dalam Sunnah Rasul secara terpencar-pencar, belum tersusun secara rapid an teratur, tetapi kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama Ushuluddin yang besar, yaitu Syaikh Abu Hasan Ali al Asy’ari (lahir di Basrah tahun 260 H.- wafat di Basrah juga tahun 324 H. dalam Usia 64 tahun)

Karena itu ada orang yang memberi nama kepada kaum Ahlussunnah wal jama’ah dengan kaum ‘asy’ari, dikaitkan kepada Imam Abu Hasan ‘Ali Al Asy’ari tersebut. Dalam kitab-kitab Ushuluddin biasa juga dijumpai perkataan Sunny, kependekan Ahlussunnah wal Jama’ah, orang-orangnya dinamai Sunniyun. Tersebut dalam kitab Ittihaf Sadatul Muttaqin karangan Imam Muhammad bin Muhammad al Husni az Zabidi, yaitu kitab Syarah dari kitab Ihya Ulumuddin karangan Imam Al Ghazali, pada jilid 2 pag 6 yaitu : “Apabila disebut kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, maka maksudnya ialah orang-orang yag mengikut rumusan (paham) Asy’ari dan paham Abu Mansur al Maturidi.”
Kaum Ahlussunah wal Jama’ah muncul pada abad 3 Hijriyah sebagai reaksi dari firqah-firqah yang sesat (Syiah, Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyah, Mujassimah dan sebagian paham Ibnu Taimiyah) timbulah golongan yang bernama kaum Ahlussunah wal Jama’ah, yang dikepalai oleh dua orang ulama besar dalam Ushuluddin yaitu Syeikh Abu Hasan Ali al ‘Asy’ari dan Syeikh Abu Mansur al Maturidi.
Sejarah mencatat bahwa aliran ini pecah menjadi dua. Pertama adalah golongan salafiyah yang diwakili Ahmad bin Hambal, Abu Hasan Al Asy’ari (w.330), Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah (w.751) dan Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787 M). adapun yang menjadi cirinya adalah mereka menafsirkan Al Qur’an dan hadis secara harfiyah (tekstual), menolak ta’wil, melarang keras penggunaan filsafat dan teologi, menolak semua ulama yang menafsirkan Al Qur’an secara batiniyah, menyalahkan pendapat para fuqoha apabila tidak sesuai dengan Al qur’an dan sunnah Rasulullah saw.
Kedua adalah golongan Khalaf yang diwakili oleh Al Baqilani (w.403 H) dan Al Juwaini (w.478 H). golongan ini masih bisa menerima ta’wil dan bersikap toleran terhadap kalangan sufi. Bidang fiih merujuk pada empat imam madzhab fiqih dan hadis menggunakan riwayat-riwayat dari “ Al Kutub Al Sittah” yang meliputi Bukhari (w.256 H/870 M), Muslim (w.261 H/875 M), Ibnu Majah (w. 273 H/886 M), Abu Daud (w.275 h/886 M), Al Tirmidzi (w.279 H/892 M) dan An Nasai (w.303 H/916 M).
2.                  Sekte Ahlussunnah wa al Jamaah
Ø  Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
Al-Asy’ari menyatakan bahwa Allah mempunyai sifat-sifat yang tidak identik dengan zat-Nya. Sifat Tuhan berbeda dengan sifat makhluk. Ia juga menyatakan bahwa orang yang meyakini keberadaan sifat-sifat Tuhan itu bukan termasuk musyrik, karena sekalipun dengan sebutan yang berbeda, akan tetapi sifat tersebut menyatu dengan zat, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Al-Asy’ari:
فَيَثْبُتُ هذه الصِّفَاتُ قَائِمَةً بِالذَاتِ لَا هِيَ هُوَ وَلَا هِيَ غَيْرُهُ
“Sifat itu tetap bertempat pada zat, sifat itu bukan zat, dan bukan pula lain dari zat”.
Ø  Kebebasan Dalam Berkehendak
Menurut Asy’ariyah, kehendak Allah itu maha meliputi. Allah juga maha berkuasa, maka Dia berhak untuk tidak menjalankan janji-janji maupun ancamannya. Perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, dan manusia hanya memperoleh perbuatan tersebut. Pernyataan ini disandarkan pada, QS. Al-Hadid:22
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab di Lauhul Mahfuzh sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
Ø  Kriteria Baik dan Buruk
Al-Asy’ari mengatakatan bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada keterangan syari’ah atau petunjuk wahyu. Oleh sebab itu, hakikat perbuatan manusia bersumber dari kekuasaan Allah yang bersamaan dengan kemampuan dan kehendak manusia yang keberadaanya itu sesuai dengan terjadinya perbuatan itu sendiri. Apabila manusia bertindak sesuai dengan aturan Allah yang terdapat dalam al-Qur’an, maka ia berakhlak. Dan jika tidak sesuai, maka ia bias dinilai tidak berakhlak.
Ø  Qodimnya Al-Qur’an
Al-Asy’ariyah meyakini bahwa kalam Allah (al-Qur’an) bukan makhluk. Pendapat ini disandarkan pada QS.Ar-Rum:25 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya. kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur)”. Menurut Asy’ariyah, Perintah Allah adalah firman-Nya. Bila Allah memerintahkan keduanya untuk berdiri, lantas keduanya berdiri dan tidak terjatuh karena berdirinya keduanya itu adalah atas perintah Allah.
Ø  Melihat Allah
Al-Asy’ari mengatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat tetapi tidak dapat digambarkan atau dilihat dengan cara dan arah tertentu. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
Ø  Keadilan
Pada dasarnya, Al-Asy’ari sependapat dengan mu’tazilah bahwa Allah itu adil. Mereka berbeda pendapat dalam memaknai keadilan. Menurut mu’tazilah, Allah harus seimbang dalam memberikan pahala amal perbuatan manusia. Sedangkan menurut al-Asy’ari, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak.
Ø  Kedudukan Orang Berdosa
Al-Asy’ari mengatakan bahwa Mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur. Oleh karena itu, mukmin yang fasik itu berada pada kehendak Allah. Jika Allah berkehendak, Dia akan mengampuni dan memasukkannya kedalam surga. Dan jika berkehendak lagi, maka Allah akan menyiksa kefasikannya kemudian memasukkannya ke surga.

1 komentar:

  1. Merkur - Merkur - Merkur Casino
    Merkur is a brand new European online sports betting and 제왕카지노 online 샌즈카지노 betting platform. 메리트카지노총판 The brand is based on the Merkur brand, Merkur brand,

    BalasHapus