BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sekilas Sejarah Awal Spanyol Islam
Islam masuk ke Spanyol (Cordova) pada tahun 93 H
(711 M) dibawah pimpinan Tariq bin Ziayad yang memimpin angkatan perang Islam
untuk membuka Andalusia dengan membawa 7000 orang pasukan. Dengan kekuatan tambahan,
Thariq yang mengepalai 12.000 pasukan, pada 19 Juli 711 berhadapan dengan
pasukan Raja Roderick di mulut Sungai Barbate dipesisir laguna janda[1] dan berhasil
mengalahkan tentara Gotik yang merupakan kemenangan penting untuk memudahkan
pasukan muslim melintasi dan penaklukan kota-kota Spanyol lainnya tanpa
mengalami perlawanan berarti.
Kondisi Andalusia pra kedatangan Islam sungguh
sangat memprihatinkan, terutama ketika masa pemerintahan raja Ghotic yang
melaksanakan pemerintahannya dengan besi. Kondisi ini menyebabkan rakyat
Andalusia menderita dan tertekan. Mereka sangat merindukan datangnya kekuatan
ratu adil sebagai sebuah kekuatan yang mampu mengeluarkan mereka saat itu,
kerinduan mereka akhirnya menemukan momentumnya ketika kedatangan Islam di
Andalusia.
Ketika Dinasti Umayah dipegang oleh Khalifah al-
Walid bin Abdul Malik (al-Walid I ) (naik tahta 86 H 1705 M ), khalifah keenam,
ia menunjuk Musa bin Nusair sebagai gubernur di Afrika Utara. Pada masa
kepemimpinan Musa bin Nusair, Afrika bagian barat dapat di kuasai kecuali
Sabtah (Ceuta ) yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Bizantium. Ketika
inilah pasukan Islam mampu menguasai bagian barat sampai Andalusia.
Penaklukan Islam di Andalusia tidak terlepas
dari kepiawaian tiga heroic Islam, yaitu Tharif Ibn Malik, Thariq bin Ziyad,
Musa bin Nushair. Perluasan bani umayyah ke Andalusia diawali oleh
rintisan Tharif ibn Malik yang berhasil menguasai ujung paling selatan eropa,
upaya ini kemudian dilanjutkan oleh Thariq bin Ziyad yang berhasil menguasai
ibu kota Andalusia, Toledo. Kemudian ia juga menguasai Archidona, Elfiro dan
Cordova. Bahkan raja Roderick (raja terakhir Vichigothic) berhasil ia kalahkan
pada tahun 711 M.
Keberhasilan Thariq dalam melumpuhkan penguasa di
Andalusia dalam sejarah Islam dicatat sebagai acuan resmi penaklukan Andalusia
oleh Islam. Kemudian ekspansi ini dilanjutkan pada waktu yang sama oleh Musa
bin Nushair yang akhirnya mampu menguasai Andalusia bagian barat yang belum
dilalui oleh Thariq, tanpa memperoleh perlawanan yang berarti. Keberhasilan
ekspansi ini akhirnya bermuara dengan dikuasainya seluruh wilayah Andalusia ke
tangan Islam. Pada saat itu kekhalifahan dinasti umayyah pada masa pemerintahan
Walid bin Abdul Malik hanya menjadikan daerah Andalusia sebagai sebuah keamiran
saja. Ia menunjuk Musa bin Nushair sebagai amir di sana yang berkedudukan di
Afrika Utara. Ketika dinasti umayyah di Damaskus runtuh, perkembangan Andalusia
kemudian dipegang oleh seorang pangeran umayyah Abdurrahman Ibn Mu’awiyah ibn Hisyam
yang berhasil lolos dari buruan bani abbas. Tokoh inilah yang kemudian berhasil
mendirikan kembali daulah bani umayyah di Andalusia.
Menurut Sejarah sebelum Islam menguasai daerah Afrika
Utara ini, di daerah ini terdapat kekuatan-kekuatan dari kerajaan Romawi.
Kerajaan inilah yang selalu megajak masyarakat agar mau menentang kekuasaan
Islam. Namun, pemikiran mereka itu dapat dihabiskan atau dikalahkan oleh
kekuatan Islam, sehingga wilayah Afrika Utara ini dapat dikuasai sepenuhnya dan
dari sinilah Islam Menguasai Andalusia.[2]
B. Perkembangan
Pendidikan dan Kebudayaan Spanyol Islam
Sebagai kelanjutan dari pembentukan suatu imperium
yang kuat dengan daerahnya yang luas, maka diperlukan-setidaknya-penataan
politik yang mapan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang tinggi. Untuk
mewujudkan ambisinya ini, dengan cukup solid Abd al-Rahman al-Dakhil
memanfaatkan potensi ini dengan sebaik-baiknya bagi pengembangan ilmu
pengetahuan pada imperiumnya. Adapun upaya untuk mengembangkan pendidikan dan
peradaban dapat dilihat dari beberapa gerakan, yang kemudian diikuti oleh
penguasa Spanyol sesudahnya. Adapun upaya-upaya tersebut antara lain:
1. Mendirikan Lembaga Pendidikan
Demi untuk pengembangan ilmu pengetahun dan kebudayaan
di Spanyol, para penguasa awal mendirikan lembaga pendidikan seperti Kuttab yang
dilaksanakan di mesjid-mesjid. Pada tingkatan ini diajarkan cara menulis,
membaca al-Qur’an dan tata bahasa Arab. Pada tahap selanjutnya didirikan
Madrasah sebagai lembaga pendidikan formal yang terdiri dari sekolah rendah
sampai sekolah menengah atas, dilembaga ini berbagai macam disiplin ilmu
pengetahuan diantaranya Fiqh, Bahasa dan Sastra, Musik dan Kesenian.[3]
Madrasah–madrasah tersebar diseluruh kekuasaan Islam, antara lain di Qurthubah
(Cordova), Isybiliah (Seville), Thulaithilah (Toledo), Granathah (Granada) dan
lain sebagainya. Kemudian, guna pengembangan lembaga pendidikan dan ilmu
pengetahuan, khalifah Abd al-Rahman III mencoba merintisnya dengan mendirikan
Universitas Cordova sebagai pusat ilmu pengetahuan. Universitas ini mengambil
tempat disebuah mesjid. Pada masa al-Hakam II (961-976 M), universitas tersebut
diperluas lokasinya, dan bahkan mendatangkan para profesor dari Timur (al-Azhar
dan Nizamiyah). Di Universitas ini, para mahasiswa mempelajari materi
pendidikan ilmu-ilmu akal, seperti filsafat, matematika, farmasi, kedokteran,
pelayaran, fisika, seni arsitektur, geografi, ekonomi dan sebagainya, serta
pengembangan ilmu-ilmu naqli (ilmu-ilmu yang berhubungan dengan
al-Qur’an dan Hadith.
Universitas Cordova telah menjadi pilihan utama bagi
generasi muda yang mencintai ilmu pengetahuan. Untuk pengembangan ilmu-ilmu
akal, mereka lakukan dengan jalan penerjemahan karya-karya Yunani kuno dan
Persia kedalam bahasa Arab, terutama karya-karya Aristoteles dan Plato.
Langkah yang diambil al-Hakam II adalah dalam rangka
memajukan pendidikan Spanyol Islam, kemudian diikuti oleh para penguasa
sesudahnya. Bahkan diantara para pengusaha ada yang menyiapkan istananya
sebagai pusat pengkajian dan pengembangan ilmu pengetahuan, seperti kajian
filsafat, ilmu pengetahuan, dan leteratur. Khusus di Cordova, telah banyak
berdiri lembaga pendidikan dari tingkat rendah sampai perguruan tinggi kurang
lebih 800 buah sekolah. Belum lagi sekolah-sekolah yang ada di daerah-daerah
lain, seperti di Toledo, Seville, Granada dan lain-lain.
Sangat nampak bahwa lembaga pendidikan pada waktu itu
sudah tertata dengan baik secara professional. Hal ini dapat dilihat dari
stratafikasi tahapan-tahapan pendidikan dari tingkat rendah, madrasah sampai ke
perguruan tinggi, sesuai dengan taraf perkembangan peserta didik, guru,
fasilitas, maupun materi yang diajarkan.
Semangat untuk menuntut ilmu yang diperkenalkan
Spanyol Islam, bukan hanya untuk pelajar muslim saja akan tetapi juga terbuka
untuk pelajar nonmuslin. Sikap toleransi yang ditawarkan, membuat para pelajar
nonmuslim berlomba-lomba untuk menuntut ilmu di Spanyol Islam. Mereka
diberlakukan sama sederajat. Fenomena ini merupakan salah satu faktor penarik
perhatian para pelajar untuk datang dan menimba ilmu pengetahuan ke Spanyol.
Dari uraian diatas, dapat dilihat dengan jelas bahwa
pendidikan yang ditawarkan pada lembaga pendidikan Spanyol Islam tidak bersifat
parsial, akan tetapi bersifat integral. Sistem pendidikannya tidak mengenal ras
tertentu. Semua orang memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk mendapatkan
pendidikan. Ke-obyektifan inilah yang membuahkan nilai kompetisi positif dalam
pengembangan ilmu pengetahuan kearah yang lebih maju. Motivasi umat dalam
menuntut ilmu pada waktu itu bukan disebabkan faktor untuk mendapatkan makan,
akan tetapi kerena dorongan oleh nilai-nilai ajaran agamanya yang mewajibkannya
untuk menuntut ilmu. Kesadaran inilah yang menupang pendidikan Spanyol Islam
pada waktu itu. Tingginya motivasi agama, telah memotivasi umat Islam
berlomba-lomba, apakah untuk mendirikan lembaga pendidikan, maupun mengisi
(belajar) di lembaga pendidikan yang sudah ada. Upaya swastanisasi lembaga
pendidikan yang ditunjukkan, bukan berupaya mengkomersilkan lembaga tersebut,
tetapi berupaya untuk melaksanakan tugas dan fungsinya di muka bumi, sebagai ‘abd
dan khalifah.
Pendidikan Spanyol Islam memberlakukan kurikulum
universal dan komprehensif. Artinya, menawarkan pendidikan agama dan umum
secara integral pada setiap tingkatan pendidikannya, khususnya pendidikan
tinggi. Indikasi dari kedalaman dan keluasan kurikulum Spanyol Islam waktu itu
boleh jadi ditentukan konsekwensi-konsekwensi pratikal yang bermanfaat bagi
manusia, sehingga pola kurikulum yang diterapkan tidakbersifat fleksibel dan
adaptik. Untuk pendidikan kejuruan, kurikulum yang ditawarkan boleh memberikan
penekanan khusus pada spesialisasi yang ditawarkan. Pengembangan kebijaksanaan
ini diberikan hak kepada kebijaksanaan lembaga atau penguasa di mana pendidikan
itu dilaksanakan.
Sedangkan metode yang diterapkan, dapat dibagi kepada
dua macam. Pertama, Metode bagi pendidikan formal. Pada
pendidikan ini, guru (dosen) duduk diatas podium. Ia memberikan
pelajaran-khususnya pendidikan tinggi-dengan membacakan manuskrip-manuskrip.
Setelah itu guru menerangkan secara jelas. Kemudian materi itu didiskusikan
bersama. Para pelajar diberikan kebebasan untuk bertanya dan mengeluarkan
pendapat, bahkan diperkenankan untuk berbeda pendapat dengan statemen yang
diberikan oleh gurunya, asal mereka dapat menunjukkan bukti-bukti yang
mendukung kebenaran pendapatnya. Mahasiswa biasanya diminta untuk menghafal
materi-materi khusus, menganalisa dan mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari. Kedua, Metode pendidikan bagi lembaga pendidikan
nonformal, baik di istana maupun diluar istana. Model pendidikan ini
menggunakan metode halaqah. Posisi guru berada diantara pengunjung. Guru
mendektikan sejumlah buku, dan kemudian menjelaskannya secara rinci. Diskusi
semacam ini merupakan metode pengajaran yang telah membumi di Spanyol Islam.
Bila pendekan diatas dianalisa lebih lanjut, terlihat
sungguh adaptik, demokratis, tidak bersifat monoton dan absolut. Antara guru
dan peserta didik terjalin hubungan yang harmonis. Kemerdekaan individu dalam
mengeluarkan pendapat sangat dihargai, dengan bukti dan argumentasi.
Upaya pembelajaran tidak dibatasi ruang dan waktu, situasi yang kondusif ini
yang membuat lembaga pendidikan Spanyol Islam mengalami kemajuan pesat. Para
pelajarnya tidak dibatasi oleh usia dan status sosial. Ilmu yang yang dimiliki
tidak saja menyentuh aspek kognitif, akan tetapi mencakup aspek afektif dan
psikomotorik secara simultan dan integral. Keunikan inilah membuat pendidikan
Spanyol Islam berbeda dengan pola pendidikan yang ditawarkan pendidikan Islam
sebelumnya. Sebab, penekanannya berorentasi menstimuli seluruh potensi manusia
secara komprehensif dan integral.
Pertumbuhan lembaga-lembaga pendidikan Islam
tergantung kepada keluarga penguasa, terutama khalifah, yang menjadi pendorong
utama bagi kegiatan keilmuan. Fiqhi merupakan inti kurikulum, namun mereka
lebih menekankan kepada madzhab Maliki daripada madzhab-madzhab lainnya. Hal
ini juga berlaku pada saat menentukan tenaga pengajar dan kurikulum yang akan
diterapkannya, peran khalifah dan penasehat-penasehat dekatnya amat dominan.
Karena khalifah dan keluarganya amat menentukan dalam penyediaan dana dan aah
kegiatan-kegiatan lembga-lembaga pendidikan di Andalusia, maka maju dan
mundurnya lembaga-lembaga tersebut amat ergantung kepada interest patronase penguasa
terhadap kegiatan keilmuan Islam.[4]
2. Pengembangan Perpustakaan
Bagaimanapun juga, kelancaran proses pendidikan sangat
tergantung dari sarana dan prasarana yang mendukung. Diantaranya adalah
fasilitas perpustakaan. Untuk itulah khalifah—khalifah Umayyah telah berupaya
menyisihkan dana dari kas negara untuk membangun berbagai sarana pendudukung
tersebut secara intensif. Ini dapat dilihat dari upaya khalifah ‘Abd al-Rahman
III (912-961 M) membangun perpustakaan dikota Granada dengan koleksi hingga
mencapai 600.000 jilid buku. Upaya yang sama juga dilakukan oleh khalifah
al-Hakam II (961-976 M) tak mau kalah dengan upaya yang dilakukan oleh
bapaknya. Ia juga membangun perpustakaan yang terbesar (Greatest Library)
di seluruh Eropa pada masa itu dan masa-masa sesudahnya. Pada masa khalifah
al-Manshur (977-1002 M), ibu kota Umayyah terdapat 73 perpustakaan, dan
sejumlah besar toko buku, mesjid dan istana, ibukota Umayyah memperoleh
popularitas internasional, serta membangkitkan pesona dan kekaguman di hati
para pelancong.[5]
Ambisi dan ketertarikan para khalifah ini telah diakui
oleh ahli-ahli barat dengan mengatakan bahwa, al-Hakam II-begitu juga dengan
pendahulunya-, kurang berminat dan tidak menginginkan peperangan. Mereka lebih
tertarik dan gemar ketenangan. Waktunya lebih banyak dipergunakan untuk
mendalami kesusasteraan. Para wakil-wakilnya ditugaskan untuk menulis dan
mencari buku-buku di dunia Timur (Baghdad), atau melakukan sejumlah
penerjemahkan karya-karya klasik. Bahkan ia sendiri sering menulis surat pada
setiap penulis untuk menjual karangannya tersebut kepada khalifah di Spanyol.
Ia tidak segan-segan mengeluarkan dana yang cukup besar untuk usahanya itu,
yang penting ia bisa memiliki karya-karya yang ada. Dengan koleksi-koleksi
tersebut kemudian ia serahkan ke perpustakaan, baik perpustakaan pribadi maupun
perpustakaan umum.
Ambisi untuk mendirikan perpustakaan tidak hanya
dimiliki oleh para khalifah. Akan tetapi, juga diminati oleh masyarakat Spanyol
Islam. Mereka mengoleksi berbagai buku bukan untuk keperluan pribadi saja, akan
tetapi ia wakafkan untuk dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum, seperti yang
dilakukan oleh Abd Mutrif, seorang hakim di Cordova. Ia telah mengoleksi
berbagai buku-buku langka. Ia juga mempekerjakan enam orang karyawan untuk
menyalin buku-buku tersebut sehingga dapat disebar luaskan pada masyarakat
umum. Ia mengeluarkan dana pribadi yang tidak sedikit untuk melaksanakan
ambisinya tersebut. Bahkan, para wanitapun tidak ketinggalan, mereka berlomba-lomba
untuk mengumpulkan buku-buku, demekian pula para budak. Dengan fenomena ini
tidaklah heran jika dalam waktu yang relatif singkat pertumbuhan perpustakaan
di Spanyol Islam laksana jamur di musim hujan. Kondisi ini pula yang ikut
mendukung bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Spanyol, sehingga dengan
sekejap telah menyulap daerah Spanyol dari Negara yang kaya, makmur dan maju,
disamping kemerdekaan ilmiah yang dikembangkan. Ilmu pengetahuan bukan hanya
milik orang merdeka, akan tetapi juga milik para budak. Hubungan yang harmonis
ini menjadi daya penggerak tersendiri bagi kemajuan pendidikan yang di
perkenalkan Spanyol Islam.
Di
lihat dari kemampuan Islam di Spanyol dalam mengembangkan kebudayaan dan
peradabannya, dapat diatakan merupakan perpaduan warna pemerintahan Umayyah di
Damaskus daam hal futuhat-nya. Jika
dilihat dari pengembangan ilmu pengetahuannya, ia diwarnai oleh sitem
pemerintahan Abbasiyah di Baghdad.
Sedangkan dari bentuk besarnya sikap toleran terhadap pemeluk agama lain yang
akhirnya menyebabkan Spanyol Islam hancur, merupakan warna baru yang
dikembangkan pemerintahan Umayyah di Spanyol, dalam upaya untuk bersikap
demokratis.
Namun
demikian, agaknya sangat ironis sekali jika pada awalnya mampu selama lebih
kurang delapan abad menjadi kiblat ilmu pengetahuan, namun akhirnya dengan
sekejap saja punah sama sekali. Menurut hemat penulis, kondisi ini disebabkan
beberapa hal. Pertama, lemahnya figure dan kharismatik yang dimiliki khalifah
pasca- Abd. Al-Rahman III. Khalifah tidak lebih sebagai simbol kekuasaan.
Sedangkan pelaksana pemerintahan berada sepenuhnya khalifah sebagai
penjustifikasi tindakannya. Akibatnya, rakyat mulai kehilangan kepercayaan pada
khalifah. Kedua, munculnya muluk
al-Thawif yang masing-masing saling berebut kekuasaan. Ketiga, hetergenitas
masyarakat Spanyol. Ini merupakan potensi bagi timbulnya konflik, terutama
dengan tiadanya figure khalifah yang kharismatik. Keempat, dendam lama umat
kristen. Kelima, jauhnya Spanyol dari kontrol dan bantuan pusat
pemerintahan Islam waktu itu Baghdad dan damaskus) dan lain sebagainya.
C. Faktor Penunjang Pengembangan Pendidikan
Spanyol Islam
a. Adanya dukungan dari para
khalifah yang berkuasa, memjadikan pendidikan Spanyol Islam dengan pesat
berkembang, karena para khalifah sangat mencintai ilmu pengetahuan dan
berwawasan ke depan.
b. Menyebarnya
madrasah-madrasah (sekolah) serta universitas-universitas di beberapa kota di
Spanyol Islam yang sangat terkenal, seperti Universitas Cordova, Seville,
Malaga, dan Granada.
c. Banyaknya para sarjana Islam yang
datang dari ujung Timur dan ujung Barat wilayah Islam dengan membawa berbagai
buku dan berbagai gagasan. Ini menunjukkan bahwa, meskipun umat Islam terdiri
dari beberapa kesatuan politik, terdapat juga apa yang disebut kesatuan budaya
Islam.
d. Adanya persaingan antara
Abbasiyah di Baghdad dan Umayyah di Spanyol dalam bidang ilmu pengetahuan dan
peradaban. Kompetisi dalam bidang ilmu pengetahuan dengan didirikannya
Universitas Cordova yang menyaingi Universitas Nizamiyah di Baghdad yang
merupakan persaingan positif, tidak selalu dalam peperangan.[6]
Dari
beberapa bacaan dapat disimpulkan bahwa, selain dari beberapa faktor diatas
pemerintah juga memberikan subsidi yang banyak terhadap pendidikan, yakni
dengan murahnya buku-buku bacaan, atau diberikannya penghargaan yang tinggi
berupa emas murni kepada penulis atau penerjemah buku, seberat buku yang
diterjemahkannya.
Hal
lain yang juga sangat menarik adalah,pemerintah juga memberikan subsidi kepada
makanan pokok, sehingga masalah pengisian kepala dan pengisian perut tidak
terlalu dihiraukan lagi dan relatif murah dijangkau serta didapat oleh
masyarakat.
D. Bias Pendidikan Spanyol Islam
bagi Perkembangan Dunia Modern
Pendudukan kaum
Muslim atas Spanyol pada abad ke-8 M merupakan jembatan pertama kaum Muslim ke
Eropa. Pendudukan ini bahkan dibantu para Uskup Sevilla yang tidak tega
membiarkan kebodohan, keterbelakangan, dan kekacauan yang terjadi akibat
kekacauan sosial, kerusakan di dalam, dan fitnah golongan. Selanjutnya kaum
Muslim menciptakan kestabilan dan keamanan di sana disertai dengan pembangunan
dan perkembangan, sehingga Andalusia menjadi daerah di Eropa yang paling kaya
dan paling berperadaban.
Kaum
Muslimin menundukkan Andalusia pada masa kekhalifahan Walid bin Abdul Malik,
melalui tangan panglima Musa bin Nushair dan Tariq bin Ziyad pada tahun 711 M.
Setelah itu Andalusia terus berada di bawah kekuasaan Islam hingga jatuhnya
Granada pada akhir kerajaan Islam di Spanyol tahun 1492 M.
Sepanjang
sejarah, bangsa Eropa memiliki hubungan pasang surut dengan Islam dan kaum
muslimin. Pemerintahan Islam di Andalusia, Spanyol pada abad ke-8 hingga abad
ke-15, adalah pemerintahan Islam pertama yang berinteraksi dengan bangsa Eropa.
Melalui peradaban Islam di Andalusia, Eropa dapat berkenalan dengan keilmuan
periode Yunani dan Romawi Kuno. Perilaku manusiawi dan keadaan jauh dari
kekerasan yang ditunjukkan kaum muslimin terhadap kaum Kristen Eropa telah
membuka pintu gerbang ilmu dan seni yang mengeluarkan Eropa dari abad kegelapan
dan kebodohan selama 10 abad.
Melalui Spanyol,
kebudayaan Islam menyentuh negara-negara Eropa. Setelah kemajuan Islam di
Spanyol mencapai puncaknya, tumbuh sekolah-sekolah dan universitas yang
mengkaji berbagai ilmu pengetahuan. Bahasa Arab menjadi bahsa pengantar di
sekolah-sekolah atau di universitas bahkan menjadi bahasa resmi pemerintahan.
Akibatnya, hampir tidak ada orang Spanyol Kristen yang tidak mengerti bahasa
Arab.
Kemajuan
ilmu pengetahuan yang dicapai oleh sarjana Muslim Arab tersebut mendorong raja
Alfonso pada tahun 830 M meminta dua orang sarjana Spanyol Islam untuk menjadi
guru besar putera-puteranya dan ahli warisnya. Proses
seperti ini kemudian berlanjut, para cendekiawan Barat banyak yang datang
belajar ke pusat-pusat ilmu pengetahuan Spanyol Islam seperti di kota Cordoba,
Sevilla, Toledo, dan lain-lain.
Ketika
terjemahan terhadap berbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu filsafat, astronomi,
kedokteran, geografi, matematika, dan sebagainya mendapat perhatian serius di
Universitas Toledo yang didirikan pada tahun 1130 M, banyak orang Kristen dari
berbagai penjuru Eropa datang belajar di universitas tersebut. Cendekiawan
Eropa hasil cetakan Universitas Toledo inilah yang tersebar ke seluruh Eropa
yang selajutnya meneruskan usaha penerjemahan berbagai ilmu pengetahuan dari
bahasa Arab ke dalam bahasa Latin.
Ulama
Muslim seperti Al-Farabi, Ar-Razy, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibn Rusyd dan Abul
Qasim al-Zahrawi mengarang ribuan buku dalam bahasa Arab yang kemudian
diterjemahkan oleh orang-orang Barat ke dalam bahasa mereka. Di
Andalusia, Spanyol yang menjadi pintu gerbang Eropa, Islam menjadi tempat
pengembangan budaya dan ilmu pengetahuan. Universitas-universitas Islam
dipenuhi mahasiswa untuk menuntut ilmu, sebagian berasal dari negara Italia,
Jerman, Perancis, dan Inggris. Kelak merekalah yang mengambil alih pijar ilmu
dari Andalusia dan menjadi motor gerakan Renaissance di Eropa.
Gerakan
penerjemahan berkembang pesat karena mendapat dukungan raja dan Uskup Gerard
Cremenia. Buku-buku yang diterjemahkan adalah karya Ptolemeus, Plato,
Aristoteles, Socrates, yang sebelumnya telah diterjemahkan dalam bahasa Arab.
Bahasa Arab sendiri dimengerti oleh cendekiawan Eropa yang pernah belajar pada
kota-kota pusat ilmu pengetahuan di kerajaan Islam Spanyol. Akhirnya gerakan
penerjemahan ini mengantarkan Eropa memasuki babakan baru yang disebut Renaissance.
Dengan kata
lain, faktor pendorong Renaissance yang terpenting adalah berasal
dari persentuhan antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan Eropa melalui
aktivitas penerjemahan buku-buku Islam yang memuat berbagai cabang ilmu
pengetahuan. Munculnya cendekiawan Eropa yang menguasai berbagai ilmu
pengetahuan hasil sarjana Muslim dan selanjutnya berhasil mengembangkannya,
menjadikan Eropa mencapai puncak kejayaan dalam bidang ilmu pengetahuan.
Menurut J.B.
Bury, Barat berhutang budi kepada Islam dalam bidang filsafat rasionalisme.
Barat mengenal rasionalisme setelah terjadi gelombang pengaruh intelektual dari
dunia Islam pada akhir abad ke-12. Yaitu dengan diperkenalkannya ajaran-ajaran
Ibnu Rusyd di kalangan terpelajar di Western Christendom. Para murid Kristen
yang selesai belajar ilmu pengetahuan dari filosof Muslim Arab Andalusia
(Spanyol) kemudian kembali ke Eropa diangap sebagai kaum revolusioner oleh
pendeta-pendeta Kristen di negerinya. Mereka dijuluki kaum revolusioner karena
kedatangan mereka membawa perubahan-perubahan besar dan radikal bagi Eropa dan
memainkan peran yang sangat besar dalam mencerahkan Eropa yang sedang berada
dalam era kegelapan (dark era).
Banyak ilmuwan
Eropa yang berusaha mengecilkan sumbangsih Islam itu. Namun dengan tegas,
Montgomery Watt menulis dalam The Influence of Islam on Medieval Europe:
“Pengaruh Islam terhadap dunia Kristen Barat lebih besar daripada yang
disadari. Tugas penting kita bangsa Eropa Barat, ketika kita menuju zaman satu
dunia, adalah mengakui sepenuhnya utang kita kepada bangsa Arab dan Dunia
Islam.”
Ketika Spanyol Islam berada dimasa keemasan, pada saat
kepemimpinan khalifah ‘Abd al-Rahman III, kemudian dilanjutkan oleh Hakam II
serta al-Hajib al-Manshur, ditandai dengan kebagkitan dinamika
intelektualitasnya dalam segala bidang ilmu pengetahuan secara integral dan
harmonis. Di sisi lain, pada waktu yang bersamaan dunia belahan Eropa mengalami
stagnasi ilmu pengetahuan. Dogma gerejani yang melarang mempelajari dan
menganggap filsafat dan ilmu Yunani berbahaya bagi agama Masehi (Kristen),
menyebabkan faktor utama terjadinya zaman kegelapan di dunia Eropa. Banyak
lembaga pendidikan yang mengajarkan filsafat Yunani ditutup, seperti yang
dilakukan oleh Gestanian yang menutup sekolah-sekolah Athena.
Kondisi inilah yang menyebabkan banyak ilmuan Eropa
yang haus akan ilmu pengetahuan, keluar dari negaranya. Perkenalan mereka
dengan dunia Islam menyebabkan mereka kagum dengan kebijaksanaan pemerintah dan
semangat umat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Ketertarikan itu menjadi
daya tarik tersendiri bagi mereka untuk lebih mengetahui dan sekaligus menggali
khazanah keilmuan dunia Islam. Manuskrip Yunani yang telah “diselamatkan”
dan di tambal oleh Islam mereka pelajari. Stimuli inilah yang memberikan
inspirasi bagi para orientalis untuk menanamkan ide pencerahan dan kebangkitan
Eropa dalam masa suramnya. Mereka berusaha mentransfer ilmu pengetahuan yang
berkembang di dunia Islam ke dunia Eropa, dengan jalan menterjemahkan sejumlah
buku-buku, mengirimkan para pelajar untuk menuntut ilmu di Spanyol Islam.
Mereka banyak belajar di dunia Islam, seperti sistem dan materi ilmu
pengetahaun inilah yang mereka kembangkan di sekolah dan universitas Eropa.
Mereka tidak hanya mempelajari asas-asas pemikiran Yunani Kuno, akan tetapi
juga mengkonsumsi muatan-muatan pemikiran muslim yang final dan siap pakai.
Dari sinilah kemudian lahir beberapa lembaga pendidikan di Eropa, seperti
Universitas Salermo (spesialis kedokteran), Bologna (spesialis hukum) di
Italia. Universitas Paris dan Montpellier di Perancis, dan Universitas
Cambridge (1209 M).
Demikianlah upaya besar-besaran yang dilakukan oleh
para ilmuan Eropa dalam mentransfer ilmu pengetahuan di dunia Islam pada abad
pertengahan, khususnya di Spanyol yang secara geografis lebih dekat dengan
negara-negara non muslim di Eropa, sehingga melahirkan reaksi terhadap
kebijakan gerejani secara nyata. Konsekuensi dari upaya ini akhirnya membuahkan
apa yang disebut renaissance.
Sebagaimana di depan telah di singgung bahwa Spanyol
merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa dalam menyerap peradaban Islam.
Baik dalam hubungan politik, social, maupun perekonomian dan peradaban antar
Negara. Muslim spanyol juga telah menorehkan tinta emas dalam sejarah bangsa
Eropa. Mereka merupakan mata rantai paling penting yang menghubungkan antara
khasanah filsafat Yunani klasik dengan bangsa-bangsa Eropa.
Dalam proses peralihan khasanah ilmu pengetahuan dari
Islam ke Barat, kota Toledo merupakan saluran utama, Sebab kota Toledo
merupakan satu-satunya kota penting dalam pembelajaran Umat Islam setelah
penguasaan Kristen atas Spanyol pada tahun 1085M. Dalam pandangan Mehdi
Nakosteen proses tranmisi tersebut terbangun melalui 2 saluran utama, yaitu
Pertama melalui para mahasiswa dan cendikiawan dari Eropa Barat yang belajar di
sekolah-sekolah tinggi dan universitas-universitas Spanyol. Kedua melalui
terjemahan karya Muslim dari sumber-sumber berbahasa Arab.
Fakta reel yang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa
tingginya peradaban intelektual Muslim Spanyol telah menginspirasi
gerakan-gerakan pencerahan di Eropa. Salah satu ilmuan penting tersebut adalah
Ibn Rusdy. Melalui pemikirannya bangsa Eropa mampu menemukan pemikiran Aristoteles
yang menganjurkan kebebasan berfikir dan melepaskan belenggu taklid dari
golongan gerejawan.
Tingginya animo masyarakat Eropa terhadap pemikiran
Ibn Rusdy, pada akhirnya melahirkan gerakan Averroisme yang berujung pada
lahirnya reformasi pada abad ke-16 M dan Rasionalisme pada abad ke-17M.
Karya-karya Ibn Rusdy banyak yang diterjemahkan, setidaknya pada tahun 1553 dan
1557M buku Ibn Rusdy di terbitkan dalam edisi lengkapnya. Selain itu juga, pada
abad ke-16 buku-buku tersebut juga diterbitkan di Napoli, Bologna, Lyonms, dan
Strasbourg.
Tingginya gerakan penerjemahan karya-karya ilmuan Muslim oleh bangsa Eropa,
di awali oleh inisiatif uskup besar Raymond I (1126-1152). Atas inisiatif uskup
tersebut dibangunlah sekolah khusus untuk menerjemahkan di kota Toledo. Dari
sekolah ini lahir penerjemah-penerjemah dalam jumlah besar antara kurun 1135
sampai 1284 M.
Salah satu karya dari lembaga ini adalah
diterjemahkannya “Buku al-Jabar“ karya al-Khawarizmi pada tahun 1145 oleh
Robert Chester dan terjemahan al-Qur’an dalam bahasa latin pada tahun 1143
bersama Dalmatin. Di kota Toledo pula didirikan sekolah Orientalisme yang
pertama pada tahun 1250 atas permintaan para pendeta dengan misi untuk mencetak
para misionaris yang bertujuan untuk mengkristenkan umat Islam dan Yahudi.
Universitas pertama yang didirikan di Eropa adalah
universitas paris yang didirikan pada tahun 1231M 30 tahun setelah wafatnya Ibn
Rusyd. Di akhir zaman pertengahan Eropa barau berdiri 18 buah Universitasa. Di
universitas-universitas tersebut, ilmu yang diperoleh dari Islam diajarkan,
seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti dan filsafat. Adapun pemikiran filsafat
yang paling di gemari di Eropa adalah pemikiran al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn
Rusdy.
Sekitar akhir abad ke-13 M seluruh ilmu pengetahuan
dari Islam bisa dikatakan telah selesai ditaransmisikan ke Barat. Berangkat
dari sini pula gerakan-gerakan penting lahir di Eropa, seperti Gerakan
Renaisance sekitar abad ke-14M yang di awali di Italia, gerakan reformasi pada
abad ke-16 M dan rasionalisme pada abad ke-17 M serta zaman pencerahan
(Aufklaerung) pada abad ke-18 M.
[1] Philip K. Hitti, History
of the Arab (terbitan Palgrave Macmillan, edisi revisi ke-10, New York:
2002), h.
628.
[2] Rahmatiah, Dakwah
Islam di Spanyol Suatu Analisis Historis, (Makassar:Alauddin University
Press, 2012), h.136.
[5] Philip K. Hitti, History
of the Arab (terbitan Palgrave Macmillan, edisi revisi ke-10, New York:
2002), h.
669.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar