Kamis, 07 April 2016

SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM



BAB II
PEMBAHASAN

A.           Sekilas Sejarah Awal Spanyol Islam
Islam masuk ke Spanyol (Cordova) pada tahun 93 H (711 M) dibawah pimpinan Tariq bin Ziayad yang memimpin angkatan perang Islam untuk membuka Andalusia dengan membawa 7000 orang pasukan. Dengan kekuatan tambahan, Thariq yang mengepalai 12.000 pasukan, pada 19 Juli 711  berhadapan dengan pasukan Raja  Roderick di mulut Sungai Barbate dipesisir laguna janda[1] dan berhasil mengalahkan tentara Gotik yang merupakan kemenangan penting untuk memudahkan pasukan muslim melintasi dan penaklukan kota-kota Spanyol lainnya tanpa mengalami perlawanan berarti.
Kondisi Andalusia pra kedatangan Islam sungguh sangat memprihatinkan, terutama ketika masa pemerintahan raja Ghotic yang melaksanakan pemerintahannya dengan besi. Kondisi ini menyebabkan rakyat Andalusia menderita dan tertekan. Mereka sangat merindukan datangnya kekuatan ratu adil sebagai sebuah kekuatan yang mampu mengeluarkan mereka saat itu, kerinduan mereka akhirnya menemukan momentumnya ketika kedatangan Islam di Andalusia.
Ketika Dinasti Umayah dipegang oleh Khalifah al- Walid bin Abdul Malik (al-Walid I ) (naik tahta 86 H 1705 M ), khalifah keenam, ia menunjuk Musa bin Nusair sebagai gubernur di Afrika Utara.  Pada masa kepemimpinan Musa bin Nusair, Afrika bagian barat dapat di kuasai kecuali Sabtah (Ceuta ) yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Bizantium. Ketika inilah pasukan Islam mampu menguasai bagian barat sampai Andalusia.
Penaklukan Islam di Andalusia  tidak terlepas dari kepiawaian tiga heroic Islam, yaitu Tharif Ibn Malik, Thariq bin Ziyad, Musa bin Nushair. Perluasan bani umayyah ke Andalusia  diawali oleh rintisan Tharif ibn Malik yang berhasil menguasai ujung paling selatan eropa, upaya ini kemudian dilanjutkan oleh Thariq bin Ziyad yang berhasil menguasai ibu kota Andalusia, Toledo. Kemudian ia juga menguasai Archidona, Elfiro dan Cordova. Bahkan raja Roderick (raja terakhir Vichigothic) berhasil ia kalahkan pada tahun 711 M.
Keberhasilan Thariq dalam melumpuhkan penguasa di Andalusia dalam sejarah Islam dicatat sebagai acuan resmi penaklukan Andalusia oleh Islam. Kemudian ekspansi ini dilanjutkan pada waktu yang sama oleh Musa bin Nushair yang akhirnya mampu menguasai Andalusia bagian barat yang belum dilalui oleh Thariq, tanpa memperoleh perlawanan yang berarti. Keberhasilan ekspansi ini akhirnya bermuara dengan dikuasainya seluruh wilayah Andalusia ke tangan Islam. Pada saat itu kekhalifahan dinasti umayyah pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik hanya menjadikan daerah Andalusia sebagai sebuah keamiran saja. Ia menunjuk Musa bin Nushair sebagai amir di sana yang berkedudukan di Afrika Utara. Ketika dinasti umayyah di Damaskus runtuh, perkembangan Andalusia kemudian dipegang oleh seorang pangeran umayyah Abdurrahman Ibn Mu’awiyah ibn Hisyam yang berhasil lolos dari buruan bani abbas. Tokoh inilah yang kemudian berhasil mendirikan kembali daulah bani umayyah di Andalusia.
Menurut Sejarah sebelum Islam menguasai daerah Afrika Utara ini, di daerah ini terdapat kekuatan-kekuatan dari kerajaan Romawi. Kerajaan inilah yang selalu megajak masyarakat agar mau menentang kekuasaan Islam. Namun, pemikiran mereka itu dapat dihabiskan atau dikalahkan oleh kekuatan Islam, sehingga wilayah Afrika Utara ini dapat dikuasai sepenuhnya dan dari sinilah Islam Menguasai Andalusia.[2]

B.      Perkembangan Pendidikan dan Kebudayaan Spanyol Islam
Sebagai kelanjutan dari pembentukan suatu imperium yang kuat dengan daerahnya yang luas, maka diperlukan-setidaknya-penataan politik yang mapan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang tinggi. Untuk mewujudkan ambisinya ini, dengan cukup solid Abd al-Rahman al-Dakhil memanfaatkan potensi ini dengan sebaik-baiknya bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada imperiumnya. Adapun upaya untuk mengembangkan pendidikan dan peradaban dapat dilihat dari beberapa gerakan, yang kemudian diikuti oleh penguasa Spanyol sesudahnya. Adapun upaya-upaya tersebut antara lain:

1.      Mendirikan Lembaga Pendidikan
Demi untuk pengembangan ilmu pengetahun dan kebudayaan di Spanyol, para penguasa awal mendirikan lembaga pendidikan seperti Kuttab yang dilaksanakan di mesjid-mesjid. Pada tingkatan ini diajarkan cara menulis, membaca al-Qur’an dan tata bahasa Arab. Pada tahap selanjutnya didirikan Madrasah sebagai lembaga pendidikan formal yang terdiri dari sekolah rendah sampai sekolah menengah atas, dilembaga ini berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan diantaranya Fiqh, Bahasa dan Sastra, Musik dan Kesenian.[3] Madrasah–madrasah tersebar diseluruh kekuasaan Islam, antara lain di Qurthubah (Cordova), Isybiliah (Seville), Thulaithilah (Toledo), Granathah (Granada) dan lain sebagainya. Kemudian, guna pengembangan lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan, khalifah Abd al-Rahman III mencoba merintisnya dengan mendirikan Universitas Cordova sebagai pusat ilmu pengetahuan. Universitas ini mengambil tempat disebuah mesjid. Pada masa al-Hakam II (961-976 M), universitas tersebut diperluas lokasinya, dan bahkan mendatangkan para profesor dari Timur (al-Azhar dan Nizamiyah). Di Universitas ini, para mahasiswa mempelajari materi pendidikan ilmu-ilmu akal, seperti filsafat, matematika, farmasi, kedokteran, pelayaran, fisika, seni arsitektur, geografi, ekonomi dan sebagainya, serta pengembangan ilmu-ilmu naqli (ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an dan Hadith.
Universitas Cordova telah menjadi pilihan utama bagi generasi muda yang mencintai ilmu pengetahuan. Untuk pengembangan ilmu-ilmu akal, mereka lakukan dengan jalan penerjemahan karya-karya Yunani kuno dan Persia kedalam bahasa Arab, terutama karya-karya Aristoteles dan Plato.
Langkah yang diambil al-Hakam II adalah dalam rangka memajukan  pendidikan Spanyol Islam, kemudian diikuti oleh para penguasa sesudahnya. Bahkan diantara para pengusaha ada yang menyiapkan istananya sebagai pusat pengkajian dan pengembangan ilmu pengetahuan, seperti kajian filsafat, ilmu pengetahuan, dan leteratur. Khusus di Cordova, telah banyak berdiri lembaga pendidikan dari tingkat rendah sampai perguruan tinggi kurang lebih 800 buah sekolah. Belum lagi sekolah-sekolah yang ada di daerah-daerah lain, seperti di Toledo, Seville, Granada dan lain-lain.
Sangat nampak bahwa lembaga pendidikan pada waktu itu sudah tertata dengan baik secara professional. Hal ini dapat dilihat dari stratafikasi tahapan-tahapan pendidikan dari tingkat rendah, madrasah sampai ke perguruan tinggi, sesuai dengan taraf perkembangan peserta didik, guru, fasilitas, maupun materi yang diajarkan.
Semangat untuk menuntut ilmu yang diperkenalkan Spanyol Islam, bukan hanya untuk pelajar muslim saja akan tetapi juga terbuka untuk pelajar nonmuslin. Sikap toleransi yang ditawarkan, membuat para pelajar nonmuslim berlomba-lomba untuk menuntut ilmu di Spanyol Islam. Mereka diberlakukan sama sederajat. Fenomena ini merupakan salah satu faktor penarik perhatian para pelajar untuk datang dan menimba ilmu pengetahuan ke Spanyol.
Dari uraian diatas, dapat dilihat dengan jelas bahwa pendidikan yang ditawarkan pada lembaga pendidikan Spanyol Islam tidak bersifat parsial, akan tetapi bersifat integral. Sistem pendidikannya tidak mengenal ras tertentu. Semua orang memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Ke-obyektifan inilah yang membuahkan nilai kompetisi positif dalam pengembangan ilmu pengetahuan kearah yang lebih maju. Motivasi umat dalam menuntut ilmu pada waktu itu bukan disebabkan faktor untuk mendapatkan makan, akan tetapi kerena dorongan oleh nilai-nilai ajaran agamanya yang mewajibkannya untuk menuntut ilmu. Kesadaran inilah yang menupang pendidikan Spanyol Islam pada waktu itu. Tingginya motivasi agama, telah memotivasi umat Islam berlomba-lomba, apakah untuk mendirikan lembaga pendidikan, maupun mengisi (belajar) di lembaga pendidikan yang sudah ada. Upaya swastanisasi lembaga pendidikan yang ditunjukkan, bukan berupaya mengkomersilkan lembaga tersebut, tetapi berupaya untuk melaksanakan tugas dan fungsinya di muka bumi, sebagai ‘abd dan khalifah.
Pendidikan Spanyol Islam memberlakukan kurikulum universal dan komprehensif. Artinya, menawarkan pendidikan agama dan umum secara integral pada setiap tingkatan pendidikannya, khususnya pendidikan tinggi. Indikasi dari kedalaman dan keluasan kurikulum Spanyol Islam waktu itu boleh jadi ditentukan konsekwensi-konsekwensi pratikal yang bermanfaat bagi manusia, sehingga pola kurikulum yang diterapkan tidakbersifat fleksibel dan adaptik. Untuk pendidikan kejuruan, kurikulum yang ditawarkan boleh memberikan penekanan khusus pada spesialisasi yang ditawarkan. Pengembangan kebijaksanaan ini diberikan hak kepada kebijaksanaan lembaga atau penguasa di mana pendidikan itu dilaksanakan.
Sedangkan metode yang diterapkan, dapat dibagi kepada dua macam. Pertama, Metode bagi pendidikan formal. Pada pendidikan ini, guru (dosen) duduk diatas podium. Ia memberikan pelajaran-khususnya pendidikan tinggi-dengan membacakan manuskrip-manuskrip. Setelah itu guru menerangkan secara jelas. Kemudian materi itu didiskusikan bersama. Para pelajar diberikan kebebasan untuk bertanya dan mengeluarkan pendapat, bahkan diperkenankan untuk berbeda pendapat dengan statemen yang diberikan oleh gurunya, asal mereka dapat menunjukkan bukti-bukti yang mendukung kebenaran pendapatnya. Mahasiswa biasanya diminta untuk menghafal materi-materi khusus, menganalisa dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, Metode pendidikan bagi lembaga pendidikan nonformal, baik di istana maupun diluar istana. Model pendidikan ini menggunakan metode halaqah. Posisi guru berada diantara pengunjung. Guru mendektikan sejumlah buku, dan kemudian menjelaskannya secara rinci. Diskusi semacam ini merupakan metode pengajaran yang telah membumi di Spanyol Islam.
Bila pendekan diatas dianalisa lebih lanjut, terlihat sungguh adaptik, demokratis, tidak bersifat monoton dan absolut. Antara guru dan peserta didik terjalin hubungan yang harmonis. Kemerdekaan individu dalam mengeluarkan pendapat sangat dihargai, dengan bukti dan  argumentasi. Upaya pembelajaran tidak dibatasi ruang dan waktu, situasi yang kondusif ini yang membuat lembaga pendidikan Spanyol Islam mengalami kemajuan pesat. Para pelajarnya tidak dibatasi oleh usia dan status sosial. Ilmu yang yang dimiliki tidak saja menyentuh aspek kognitif, akan tetapi mencakup aspek afektif dan psikomotorik secara simultan dan integral. Keunikan inilah membuat pendidikan Spanyol Islam berbeda dengan pola pendidikan yang ditawarkan pendidikan Islam sebelumnya. Sebab, penekanannya berorentasi menstimuli seluruh potensi manusia secara komprehensif dan integral.
Pertumbuhan lembaga-lembaga pendidikan Islam tergantung kepada keluarga penguasa, terutama khalifah, yang menjadi pendorong utama bagi kegiatan keilmuan. Fiqhi merupakan inti kurikulum, namun mereka lebih menekankan kepada madzhab Maliki daripada madzhab-madzhab lainnya. Hal ini juga berlaku pada saat menentukan tenaga pengajar dan kurikulum yang akan diterapkannya, peran khalifah dan penasehat-penasehat dekatnya amat dominan. Karena khalifah dan keluarganya amat menentukan dalam penyediaan dana dan aah kegiatan-kegiatan lembga-lembaga pendidikan di Andalusia, maka maju dan mundurnya lembaga-lembaga tersebut amat ergantung kepada interest patronase penguasa terhadap kegiatan keilmuan Islam.[4]
2.      Pengembangan Perpustakaan
Bagaimanapun juga, kelancaran proses pendidikan sangat tergantung dari sarana dan prasarana yang mendukung. Diantaranya adalah fasilitas perpustakaan. Untuk itulah khalifah—khalifah Umayyah telah berupaya menyisihkan dana dari kas negara untuk membangun berbagai sarana pendudukung tersebut secara intensif. Ini dapat dilihat dari upaya khalifah ‘Abd al-Rahman III (912-961 M) membangun perpustakaan dikota Granada dengan koleksi hingga mencapai 600.000 jilid buku. Upaya yang sama juga dilakukan oleh khalifah al-Hakam II (961-976 M) tak mau kalah dengan upaya yang dilakukan oleh bapaknya. Ia juga membangun perpustakaan yang terbesar (Greatest Library) di seluruh Eropa pada masa itu dan masa-masa sesudahnya. Pada masa khalifah al-Manshur (977-1002 M), ibu kota Umayyah terdapat 73  perpustakaan, dan sejumlah besar toko buku, mesjid dan istana, ibukota Umayyah memperoleh popularitas internasional, serta membangkitkan pesona dan kekaguman di hati para pelancong.[5] 
Ambisi dan ketertarikan para khalifah ini telah diakui oleh ahli-ahli barat dengan mengatakan bahwa, al-Hakam II-begitu juga dengan pendahulunya-, kurang berminat dan tidak menginginkan peperangan. Mereka lebih tertarik dan gemar ketenangan. Waktunya lebih banyak dipergunakan untuk mendalami kesusasteraan. Para wakil-wakilnya ditugaskan untuk menulis dan mencari buku-buku di dunia Timur (Baghdad), atau melakukan sejumlah penerjemahkan karya-karya klasik. Bahkan ia sendiri sering menulis surat pada setiap penulis untuk menjual karangannya tersebut kepada khalifah di Spanyol. Ia tidak segan-segan mengeluarkan dana yang cukup besar untuk usahanya itu, yang penting ia bisa memiliki karya-karya yang ada. Dengan koleksi-koleksi tersebut kemudian ia serahkan ke perpustakaan, baik perpustakaan pribadi maupun perpustakaan umum.
Ambisi untuk mendirikan perpustakaan tidak hanya dimiliki oleh para khalifah. Akan tetapi, juga diminati oleh masyarakat Spanyol Islam. Mereka mengoleksi berbagai buku bukan untuk keperluan pribadi saja, akan tetapi ia wakafkan untuk dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum, seperti yang dilakukan oleh Abd Mutrif, seorang hakim di Cordova. Ia telah mengoleksi berbagai buku-buku langka. Ia juga mempekerjakan enam orang karyawan untuk menyalin buku-buku tersebut sehingga dapat disebar luaskan pada masyarakat umum. Ia mengeluarkan dana pribadi yang tidak sedikit untuk melaksanakan ambisinya tersebut. Bahkan, para wanitapun tidak ketinggalan, mereka berlomba-lomba untuk mengumpulkan buku-buku, demekian pula para budak. Dengan fenomena ini tidaklah heran jika dalam waktu yang relatif singkat pertumbuhan perpustakaan di Spanyol Islam laksana jamur di musim hujan. Kondisi ini pula yang ikut mendukung bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Spanyol, sehingga dengan sekejap telah menyulap daerah Spanyol dari Negara yang kaya, makmur dan maju, disamping kemerdekaan ilmiah yang dikembangkan. Ilmu pengetahuan bukan hanya milik orang merdeka, akan tetapi juga milik para budak. Hubungan yang harmonis ini menjadi daya penggerak tersendiri bagi kemajuan pendidikan yang di perkenalkan Spanyol Islam.
Di lihat dari kemampuan Islam di Spanyol dalam mengembangkan kebudayaan dan peradabannya, dapat diatakan merupakan perpaduan warna pemerintahan Umayyah di Damaskus daam hal futuhat-nya. Jika dilihat dari pengembangan ilmu pengetahuannya, ia diwarnai oleh sitem pemerintahan  Abbasiyah di Baghdad. Sedangkan dari bentuk besarnya sikap toleran terhadap pemeluk agama lain yang akhirnya menyebabkan Spanyol Islam hancur, merupakan warna baru yang dikembangkan pemerintahan Umayyah di Spanyol, dalam upaya untuk bersikap demokratis.
Namun demikian, agaknya sangat ironis sekali jika pada awalnya mampu selama lebih kurang delapan abad menjadi kiblat ilmu pengetahuan, namun akhirnya dengan sekejap saja punah sama sekali. Menurut hemat penulis, kondisi ini disebabkan beberapa hal. Pertama, lemahnya figure dan kharismatik yang dimiliki khalifah pasca- Abd. Al-Rahman III. Khalifah tidak lebih sebagai simbol kekuasaan. Sedangkan pelaksana pemerintahan berada sepenuhnya khalifah sebagai penjustifikasi tindakannya. Akibatnya, rakyat mulai kehilangan kepercayaan pada khalifah. Kedua, munculnya muluk al-Thawif yang masing-masing saling berebut kekuasaan. Ketiga, hetergenitas masyarakat Spanyol. Ini merupakan potensi bagi timbulnya konflik, terutama dengan tiadanya figure khalifah yang kharismatik. Keempat, dendam lama umat kristen. Kelima, jauhnya Spanyol dari kontrol dan bantuan pusat pemerintahan Islam waktu itu Baghdad dan damaskus) dan lain sebagainya.
C.   Faktor Penunjang Pengembangan Pendidikan Spanyol Islam
a.    Adanya dukungan dari para khalifah yang berkuasa, memjadikan pendidikan Spanyol Islam dengan pesat berkembang, karena para khalifah sangat mencintai ilmu pengetahuan dan berwawasan ke depan.
b.   Menyebarnya  madrasah-madrasah (sekolah) serta universitas-universitas di beberapa kota di Spanyol Islam yang sangat terkenal, seperti Universitas Cordova, Seville, Malaga, dan Granada.
c.    Banyaknya para sarjana Islam yang datang dari ujung Timur dan ujung Barat wilayah Islam dengan membawa berbagai buku dan berbagai gagasan. Ini menunjukkan bahwa, meskipun umat Islam terdiri dari beberapa kesatuan politik, terdapat juga apa yang disebut kesatuan budaya Islam.
d.   Adanya persaingan antara Abbasiyah di Baghdad dan Umayyah di Spanyol dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Kompetisi dalam bidang ilmu pengetahuan dengan didirikannya Universitas Cordova yang menyaingi Universitas Nizamiyah di Baghdad yang merupakan persaingan positif, tidak selalu dalam peperangan.[6]
Dari beberapa bacaan dapat disimpulkan bahwa, selain dari beberapa faktor diatas pemerintah juga memberikan subsidi yang banyak terhadap pendidikan, yakni dengan murahnya buku-buku bacaan, atau diberikannya penghargaan yang tinggi berupa emas murni kepada penulis atau penerjemah buku, seberat buku yang diterjemahkannya.
Hal lain yang juga sangat menarik adalah,pemerintah juga memberikan subsidi kepada makanan pokok, sehingga masalah pengisian kepala dan pengisian perut tidak terlalu dihiraukan lagi dan relatif murah dijangkau serta didapat oleh masyarakat.



D.      Bias Pendidikan Spanyol Islam bagi Perkembangan Dunia Modern
Pendudukan kaum Muslim atas Spanyol pada abad ke-8 M merupakan jembatan pertama kaum Muslim ke Eropa. Pendudukan ini bahkan dibantu para Uskup Sevilla yang tidak tega membiarkan kebodohan, keterbelakangan, dan kekacauan yang terjadi akibat kekacauan sosial, kerusakan di dalam, dan fitnah golongan. Selanjutnya kaum Muslim menciptakan kestabilan dan keamanan di sana disertai dengan pembangunan dan perkembangan, sehingga Andalusia menjadi daerah di Eropa yang paling kaya dan paling berperadaban.
Kaum Muslimin menundukkan Andalusia pada masa kekhalifahan Walid bin Abdul Malik, melalui tangan panglima Musa bin Nushair dan Tariq bin Ziyad pada tahun 711 M. Setelah itu Andalusia terus berada di bawah kekuasaan Islam hingga jatuhnya Granada pada akhir kerajaan Islam di Spanyol tahun 1492 M.
Sepanjang sejarah, bangsa Eropa memiliki hubungan pasang surut dengan Islam dan kaum muslimin. Pemerintahan Islam di Andalusia, Spanyol pada abad ke-8 hingga abad ke-15, adalah pemerintahan Islam pertama yang berinteraksi dengan bangsa Eropa. Melalui peradaban Islam di Andalusia, Eropa dapat berkenalan dengan keilmuan periode Yunani dan Romawi Kuno. Perilaku manusiawi dan keadaan jauh dari kekerasan yang ditunjukkan kaum muslimin terhadap kaum Kristen Eropa telah membuka pintu gerbang ilmu dan seni yang mengeluarkan Eropa dari abad kegelapan dan kebodohan selama 10 abad.
Melalui Spanyol, kebudayaan Islam menyentuh negara-negara Eropa. Setelah kemajuan Islam di Spanyol mencapai puncaknya, tumbuh sekolah-sekolah dan universitas yang mengkaji berbagai ilmu pengetahuan. Bahasa Arab menjadi bahsa pengantar di sekolah-sekolah atau di universitas bahkan menjadi bahasa resmi pemerintahan. Akibatnya, hampir tidak ada orang Spanyol Kristen yang tidak mengerti bahasa Arab.
Kemajuan ilmu pengetahuan yang dicapai oleh sarjana Muslim Arab tersebut mendorong raja Alfonso pada tahun 830 M meminta dua orang sarjana Spanyol Islam untuk menjadi guru besar putera-puteranya dan ahli warisnya. Proses seperti ini kemudian berlanjut, para cendekiawan Barat banyak yang datang belajar ke pusat-pusat ilmu pengetahuan Spanyol Islam seperti di kota Cordoba, Sevilla, Toledo, dan lain-lain.
Ketika terjemahan terhadap berbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu filsafat, astronomi, kedokteran, geografi, matematika, dan sebagainya mendapat perhatian serius di Universitas Toledo yang didirikan pada tahun 1130 M, banyak orang Kristen dari berbagai penjuru Eropa datang belajar di universitas tersebut. Cendekiawan Eropa hasil cetakan Universitas Toledo inilah yang tersebar ke seluruh Eropa yang selajutnya meneruskan usaha penerjemahan berbagai ilmu pengetahuan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Latin.
Ulama Muslim seperti Al-Farabi, Ar-Razy, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibn Rusyd dan Abul Qasim al-Zahrawi mengarang ribuan buku dalam bahasa Arab yang kemudian diterjemahkan oleh orang-orang Barat ke dalam bahasa mereka. Di Andalusia, Spanyol yang menjadi pintu gerbang Eropa, Islam menjadi tempat pengembangan budaya dan ilmu pengetahuan. Universitas-universitas Islam dipenuhi mahasiswa untuk menuntut ilmu, sebagian berasal dari negara Italia, Jerman, Perancis, dan Inggris. Kelak merekalah yang mengambil alih pijar ilmu dari Andalusia dan menjadi motor gerakan Renaissance di Eropa.
Gerakan penerjemahan berkembang pesat karena mendapat dukungan raja dan Uskup Gerard Cremenia. Buku-buku yang diterjemahkan adalah karya Ptolemeus, Plato, Aristoteles, Socrates, yang sebelumnya telah diterjemahkan dalam bahasa Arab. Bahasa Arab sendiri dimengerti oleh cendekiawan Eropa yang pernah belajar pada kota-kota pusat ilmu pengetahuan di kerajaan Islam Spanyol. Akhirnya gerakan penerjemahan ini mengantarkan Eropa memasuki babakan baru yang disebut Renaissance.
Dengan kata lain, faktor pendorong Renaissance yang terpenting adalah berasal dari persentuhan antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan Eropa melalui aktivitas penerjemahan buku-buku Islam yang memuat berbagai cabang ilmu pengetahuan. Munculnya cendekiawan Eropa yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan hasil sarjana Muslim dan selanjutnya berhasil mengembangkannya, menjadikan Eropa mencapai puncak kejayaan dalam bidang ilmu pengetahuan.
Menurut J.B. Bury, Barat berhutang budi kepada Islam dalam bidang filsafat rasionalisme. Barat mengenal rasionalisme setelah terjadi gelombang pengaruh intelektual dari dunia Islam pada akhir abad ke-12. Yaitu dengan diperkenalkannya ajaran-ajaran Ibnu Rusyd di kalangan terpelajar di Western Christendom. Para murid Kristen yang selesai belajar ilmu pengetahuan dari filosof Muslim Arab Andalusia (Spanyol) kemudian kembali ke Eropa diangap sebagai kaum revolusioner oleh pendeta-pendeta Kristen di negerinya. Mereka dijuluki kaum revolusioner karena kedatangan mereka membawa perubahan-perubahan besar dan radikal bagi Eropa dan memainkan peran yang sangat besar dalam mencerahkan Eropa yang sedang berada dalam era kegelapan (dark era).
Banyak ilmuwan Eropa yang berusaha mengecilkan sumbangsih Islam itu. Namun dengan tegas, Montgomery Watt menulis dalam The Influence of Islam on Medieval Europe: “Pengaruh Islam terhadap dunia Kristen Barat lebih besar daripada yang disadari. Tugas penting kita bangsa Eropa Barat, ketika kita menuju zaman satu dunia, adalah mengakui sepenuhnya utang kita kepada bangsa Arab dan Dunia Islam.”

Ketika Spanyol Islam berada dimasa keemasan, pada saat kepemimpinan khalifah ‘Abd al-Rahman III, kemudian dilanjutkan oleh Hakam II serta al-Hajib al-Manshur, ditandai dengan kebagkitan dinamika intelektualitasnya dalam segala bidang ilmu pengetahuan secara integral dan harmonis. Di sisi lain, pada waktu yang bersamaan dunia belahan Eropa mengalami stagnasi ilmu pengetahuan. Dogma gerejani yang melarang mempelajari dan menganggap filsafat dan ilmu Yunani berbahaya bagi agama Masehi (Kristen), menyebabkan faktor utama terjadinya zaman kegelapan di dunia Eropa. Banyak lembaga pendidikan yang mengajarkan filsafat Yunani ditutup, seperti yang dilakukan oleh Gestanian yang menutup sekolah-sekolah Athena.
Kondisi inilah yang menyebabkan banyak ilmuan Eropa yang haus akan ilmu pengetahuan, keluar dari negaranya. Perkenalan mereka dengan dunia Islam menyebabkan mereka kagum dengan kebijaksanaan pemerintah dan semangat umat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Ketertarikan itu menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka untuk lebih mengetahui dan sekaligus menggali khazanah keilmuan dunia Islam.  Manuskrip Yunani yang telah “diselamatkan” dan di tambal oleh Islam mereka pelajari. Stimuli inilah yang memberikan inspirasi bagi para orientalis untuk menanamkan ide pencerahan dan kebangkitan Eropa dalam masa suramnya. Mereka berusaha mentransfer ilmu pengetahuan yang berkembang di dunia Islam ke dunia Eropa, dengan jalan menterjemahkan sejumlah buku-buku, mengirimkan para pelajar untuk menuntut ilmu di Spanyol Islam. Mereka banyak belajar di dunia Islam, seperti sistem dan materi ilmu pengetahaun inilah yang mereka kembangkan di sekolah dan universitas Eropa. Mereka tidak hanya mempelajari asas-asas pemikiran Yunani Kuno, akan tetapi juga mengkonsumsi muatan-muatan pemikiran muslim yang final dan siap pakai. Dari sinilah kemudian lahir beberapa lembaga pendidikan di Eropa, seperti Universitas Salermo (spesialis kedokteran), Bologna (spesialis hukum) di Italia. Universitas Paris dan Montpellier di Perancis, dan Universitas Cambridge (1209 M).
Demikianlah upaya besar-besaran yang dilakukan oleh para ilmuan Eropa dalam mentransfer ilmu pengetahuan di dunia Islam pada abad pertengahan, khususnya di Spanyol yang secara geografis lebih dekat dengan negara-negara non muslim di Eropa, sehingga melahirkan reaksi terhadap kebijakan gerejani secara nyata. Konsekuensi dari upaya ini akhirnya membuahkan apa yang disebut renaissance.
Sebagaimana di depan telah di singgung bahwa Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa dalam menyerap peradaban Islam. Baik dalam hubungan politik, social, maupun perekonomian dan peradaban antar Negara. Muslim spanyol juga telah menorehkan tinta emas dalam sejarah bangsa Eropa. Mereka merupakan mata rantai paling penting yang menghubungkan antara khasanah filsafat Yunani klasik dengan bangsa-bangsa Eropa.
Dalam proses peralihan khasanah ilmu pengetahuan dari Islam ke Barat, kota Toledo merupakan saluran utama, Sebab kota Toledo merupakan satu-satunya kota penting dalam pembelajaran Umat Islam setelah penguasaan Kristen atas Spanyol pada tahun 1085M. Dalam pandangan Mehdi Nakosteen proses tranmisi tersebut terbangun melalui 2 saluran utama, yaitu Pertama melalui para mahasiswa dan cendikiawan dari Eropa Barat yang belajar di sekolah-sekolah tinggi dan universitas-universitas Spanyol. Kedua melalui terjemahan karya Muslim dari sumber-sumber berbahasa Arab.
Fakta reel yang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa tingginya peradaban intelektual Muslim Spanyol telah menginspirasi gerakan-gerakan pencerahan di Eropa. Salah satu ilmuan penting tersebut adalah Ibn Rusdy. Melalui pemikirannya bangsa Eropa mampu menemukan pemikiran Aristoteles yang menganjurkan kebebasan berfikir dan melepaskan belenggu taklid dari golongan gerejawan.
Tingginya animo masyarakat Eropa terhadap pemikiran Ibn Rusdy, pada akhirnya melahirkan gerakan Averroisme yang berujung pada lahirnya reformasi pada abad ke-16 M dan Rasionalisme pada abad ke-17M. Karya-karya Ibn Rusdy banyak yang diterjemahkan, setidaknya pada tahun 1553 dan 1557M buku Ibn Rusdy di terbitkan dalam edisi lengkapnya. Selain itu juga, pada abad ke-16 buku-buku tersebut juga diterbitkan di Napoli, Bologna, Lyonms, dan Strasbourg.
Tingginya gerakan penerjemahan karya-karya ilmuan Muslim oleh bangsa Eropa, di awali oleh inisiatif uskup besar Raymond I (1126-1152). Atas inisiatif uskup tersebut dibangunlah sekolah khusus untuk menerjemahkan di kota Toledo. Dari sekolah ini lahir penerjemah-penerjemah dalam jumlah besar antara kurun 1135 sampai 1284 M.
Salah satu karya dari lembaga ini adalah diterjemahkannya “Buku al-Jabar“ karya al-Khawarizmi pada tahun 1145 oleh Robert Chester dan terjemahan al-Qur’an dalam bahasa latin pada tahun 1143 bersama Dalmatin. Di kota Toledo pula didirikan sekolah Orientalisme yang pertama pada tahun 1250 atas permintaan para pendeta dengan misi untuk mencetak para misionaris yang bertujuan untuk mengkristenkan umat Islam dan Yahudi.
Universitas pertama yang didirikan di Eropa adalah universitas paris yang didirikan pada tahun 1231M 30 tahun setelah wafatnya Ibn Rusyd. Di akhir zaman pertengahan Eropa barau berdiri 18 buah Universitasa. Di universitas-universitas tersebut, ilmu yang diperoleh dari Islam diajarkan, seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti dan filsafat. Adapun pemikiran filsafat yang paling di gemari di Eropa adalah pemikiran al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusdy.
Sekitar akhir abad ke-13 M seluruh ilmu pengetahuan dari Islam bisa dikatakan telah selesai ditaransmisikan ke Barat. Berangkat dari sini pula gerakan-gerakan penting lahir di Eropa, seperti Gerakan Renaisance sekitar abad ke-14M yang di awali di Italia, gerakan reformasi pada abad ke-16 M dan rasionalisme pada abad ke-17 M serta zaman pencerahan (Aufklaerung) pada abad ke-18 M.


[1] Philip K. Hitti, History of the Arab (terbitan Palgrave Macmillan, edisi revisi ke-10, New York: 2002), h. 628.
[2] Rahmatiah, Dakwah Islam di Spanyol Suatu Analisis Historis, (Makassar:Alauddin University Press, 2012), h.136.
[3] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h. 263-264.
[4] Suwito Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), h.116.
[5] Philip K. Hitti, History of the Arab (terbitan Palgrave Macmillan, edisi revisi ke-10, New York: 2002), h. 669.
[6] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h. 268.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar