BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kurikulum Pendidikan Islam
Istilah
kurikulum berasal dari bahasa latin curriculum yang berarti pelajaran.
Selanjutnya kata kurikulum menjadi istilah yang digunakan untuk menunjukkan
pada sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai suatu tujuan
atau ijazah.[1]
Secara
etimologi kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya
pelari dan curere yang berarti jarak yang ditempuh oleh pelari. Istilah
ini pada mulanya digunakan dalam dunia olahraga yang berarti “a litle race
course” (suatu jarak yang harus ditempuh dalam pertandingan olahraga).
Berdasarkan pengertian ini, dalam konteksnya dengan dunia pendidikan,
memberinya pengertian sebagai “circle of instruction” yaitu suatu
lingkaran pengajaran di mana guru dan mood terlibat di dalamnya.[2]
Pada saat itu kurikulum diartikan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh
oleh siswa/murid untuk mendapat ijazah. Rumusan kurikulum tersebut mengandung
makna bahwa isi kurikulum tidak lain adalah sejumlah mata pelajaran (subjek
matter) yang harus dikuasai siswa agar siswa memperoleh ijazah.[3]
Pada masa
klasik, pakar pendidikan Islam menggunakan kata al-maddah untuk
pengertian kurikulum. Karena pada masa itu kurikulum lebih identik dengan
serangkaian mata pelajaran yang harus diberikan pada murid dalam tingkat
tertentu.[4]
Kurikulum
merupakan landasan yang digunakan pendidikan untuk membimbing peserta didiknya
ke arah tujuan pendidikan yang dininginkan melalui akumulasi sejumlah
pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental. Ini berarti bahwa proses
pendidikan Islam bukanlah suatu proses yang dapat dilakukan secara serampangan,
tetapi hendaknya mengacu pada konseptualisasi manusia transformasi sejumlah
pengetahuan keterampilan dan sikap mental yang harus tersusun dalam kurikulum
pendidikan Islam.[5] Kurikulum merupakan salah satu dari komponen pokok
pendidikan, dan kurikulum sendiri juga merupakan sistem yang mempunyai
komponen-komponen tertentu. Komponen kurikulum tersebut paling tidak mencakup
tujuan, struktur program, strategi pelaksanaan yang menyangkut sistem penyajian
pelajaran, penilaian hasil belajar, bimbingan penyuluhan, administrasi, dan
supervisi pendidikan.[6]
Jadi, kurikulum
pendidikan Islam merupakan landasan yang mengacu pada Al-Quran dan Hadits guna
membimbing peserta didik kepada tujuan yang dicita-citakan yakni menjadikan
manusia sebagaimana mestinya.
B.
Kurikulum Pendidikan Islam Sebelum Berdirinya Madrasah
Kurikulum
pendidikan Islam sebenarnya sudah ada sebelum berdirinya madrasah/sekolah
formal. Kelembagaan pendidikan pada masa ini berada di luar pengaruh penguasa,
sehingga operasionalnya lebih mandiri, tanpa pesan-pesan politik kenegaraan
yang bisa menghambat dinamika ilmiah.[7]
Para ahli
membedakan/membagi kurikulum pada saat itu menjadi dua kategori, yaitu
kurikulum pendidikan rendah dan kurikulum pendidikan tinggi. Adapun
penjelasannya akan diuraikan secara mendetail di bawah ini.
1.
Kurikulum Pendidikan Rendah
Terdapat kesukaran ketika ingin membatasi mata pelajaran-mata
pelajaran yang membentuk kurikulum untuk semua tingkat pendidikan yang
bermacam-macam. Pertama, karena tidak adanya kurikulum yang terbatas,
baik untuk tingkat rendah maupun tingkat penghabisan, kecuali Al-Quran yang
terdapat pada seluruh kurikulum. Kedua, kesukaran membedakan di antara
fase-fase pendidikan dan lamanya belajar karena tidak ada masa tertentu yang
mengikat murid-murid untuk belajar pada setiap lembaga pendidikan.[8]
Sebelum berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalam pendidikan
Islam, tetapi hanya satu tingkat yang bermula di kuttab dan berakhir di
diskusi halaqah. Tidak ada kurikulum khusus yang diikuti oleh seluruh
umat Islam. Di lembaga kuttab biasanya diajarkan membaca dan menulis di
samping Al-Quran.[9] Pada awalnya kuttab
berfungsi sebagai tempat memberikan pelajaran menulis dan membaca bagi
anak-anak.[10] Dalam beberapa
hal kadang-kadang ditambah pula dengan mata pelajaran An-Nahwu, cerita-cerita,
dan belajar berenang. Ada pula diantaranya kurikulum yang berisi mata pelajaran
yang terbatas pada menghafal Al-Quran, dan mengajarkan beberapa dasar-dasar
pokok agama. Contoh-contoh yang berikut ini akan menjelaskan kepada kita
gambaran dari kurikulum pada pendidikan tingkat pertama. Al-Mufadhdhal bin
Yazid menceritakan bahwa pada suatu hari ia melihat seorang anak laki-laki dari
seorang perempuan baduwi, oleh karena ibunya tertarik kepada anak itu lalu ia
bertanya kepada ibunya tentang anak tersebut. Lalu ia menjawab sebagai berikut:
apabila ia telah sampai usia 5 tahun, saya akan menyerahkannya menghafal dan
membaca Al-Quran, kemudian ia mengajarkan sya’ir kepadanya sehingga ia dapat
mengerti artinya. Dengan demikian, ia suka akan kebanggaan bangsanya dan ia
mencari bekas-bekas peninggalan nenek moyangnya. Apabila ia sampai usia dewasa,
saya akan mengajarkannya cara mengendarai kuda sehingga ia terlatih dengan
baik, kemudian akan mondar-mandir di lorong-lorong kampungnya guna mendengar
suara orang-orang yang meminta bantuan.[11]
Sedangkan kurikulum yang ditawarkan oleh Ibnu Sina untuk tingkat
ini adalah mengajari Al-Quran, karena
anak-anak dari segi fisik dan mental, telah siap menerima pendiktean, dan pada
waktu yang sama diajarkan juga huruf hijaiyah dan dasar agama kemudian syair
berikut artinya. Setelah anak-anak belajar Al-Quran dan dasar agama, kemudian
diarahkan untuk mempelajari sesuatu yang sesuai dengan kecenderungannya.
Kurikulum pada tingkat ini bervariasi tergantung pada tingkat kebutuhan
masyarakat.[12]
Namun
demikian, ada perbedaan antara kuttab-kuttab yang diperuntukan bagi
masyarakat umum dengan yang ada di istana. Di istana, orang tua (para pembesar
istana) adalah yang membuat rencana pelajaran tersebut sesuai dengan anaknya
dan tujuan yang dikehendakinya. Rencana pelajaran untuk pendidikan istana ialah
pidato, sejarah, peperangan-peperangan, cara bergaul dengan masyarakat di
samping pengetahuan pokok, seperti Al-Quran, syair dan bahasa.[13]
Fase pendidikan dasar ini adalah fase yang terberat bagi anak-anak, karena
biasanya ia mempelajari ilmu-ilmu yang dimiliki orang dewasa. Hal ini terjadi
oleh sebab mata pelajaran-mata pelajaran mempunyai hubungan dengan kesukaan
anak-anak, seperti menggambar, pekerjaan-pekerjaan tangan, menyanyi, musik,
permainan-permainan, cerita-cerita, mempelajari alam sekitar, bahasa,
mempelajari angka-angka dalam bentuk sederhana yang sesuai dengan kemampuan
anak-anak sebelum diketahui orang pada waktu itu. Hal-hal yang semacam ini
secara relatif baru saja ditemukan. Demikian pula mempelajari keinginan
anak-anak secara ilmiah masih merupakan semacam pengetahuan baru. Kurikulum
yang telah dipakai pada waktu itu adalah kurikulum yang berisi mata pelajaran
yang dipelajari sepanjang masa-masa Islam yang berabad-abad lamanya, dan yang
senantiasa terpengaruh dengan keinginan orang dewasa di dalam mempersiapkannya.
Sejalan dengan itu pula anak-anak mempelajari sesuatu yang berada di luar
kemampuannya dengan satu anggapan bahwa mempelajari hal yang semacam itu akan
memberi faedah pada fase-fase pendidikan sesudahnya. Untuk mencapai tujuan itu,
maka dikorbankanlah keinginan-keinginan
dan kemampuan-kemampuan yang dimiliki sekarang ini, yang seharusnya dipenuhi
dan dikembangkan guna mencapai pertumbuhan dan pembentukannya yang lebih
sempurna. Ini merupakan suatu kesalahan yang pernah dilakukan oleh
pendidik-pendidik Islam yang tidak dapat diterima oleh pendidik modern sekarang
ini.[14]
Di samping itu, dalam kurikulum tersebut terdapat pula mata
pelajaran lain yang mengandung nilai praktis, seperti berenang, melemparkan
lembing, dan berhitung. Cuma saja satu kekurangan dalam hal ini, karena tidak
semua kurikulum mencamtumkan mata pelajaran seperti ini.[15]
2.
Kurikulum Pendidikan Tinggi
Kurikulum pendidikan tinggi, halaqah kalau mau menyebut demikian
bervariasi tergantung pada syekh yang mau mengajar. Para mahasiswa tidak
terikat untuk mempelajari mata pelajaran tertentu, demikian juga guru tidak
mewajibkan kepada mahasiswa untuk mengikuti kurikulum tertentu. Mahasiswa bebas
mengikuti pelajaran di sebuah halaqah dan berpindah dari sebuah halaqah
ke halaqah yang lain, bahkan dari satu kota ke kota yang lain. Menurut
Rahman, pendidikan jenis ini disebut pendidikan orang dewasa karena diberikan
kepada orang yang tujuan utamanya adalah untuk mengajarkan mereka mengenai
Al-Quran dan agama. Kurikulum pada tingkat ini dibagi kepada dua jurusan,
jurusan ilmu-ilmu agama dan jurusan ilmu-ilmu pengetahuan.[16]
Kedua macam kurikulum ini sejalan dengan dua masa transisi penting
dalam perkembangan pemikiran Islam. Kurikulum pertama adalah sejalan dengan
fase di mana dunia Islam mempersiapkan diri untuk mendalami masalah agama ,
menyiarkan dan mempertahankannya. Namun pada agama itu tidaklah terbatas pada
ilmu agama an sich, tetapi dilengkapi juga dengan ilmu-ilmu bahasa, ilmu
sejarah, hadis dan tafsir. Menurut Mahmud Yunus, kurikulum jurusan ini adalah
tafsir Al-Quran, hadis, fiqhi dan ushul fiqhi, nahwu saraf, balaghah, bahasa
dan sastranya.[17]
Al-Khuwarazmi (Yusuf Al-Katib, tahun 976) dalam bukunya, Mafatih
al-Ulum meringkas kurikulum agama sebagai berikut: ilmu fiqhi, ilmu nahwu,
ilmu kalam, ilmu kitabah (sekretaris), ilmu arudh. Ilmu sejarah
(terutama sejarah Persia, sejarah Islam, sejarah sebelum Islam, sejarah Yunani
dan Romawi). Di samping itu, juga diajarkan juga matematika dasar, karena
banyak digunakan untuk ilmu faraid dan pembuatan Taqwim (mencocokkan
tahun Hijriah dengan tahun Masehi), sedangkan yang ditulis dalam risalah ikhwan
al-shafa, kurikulum untuk jurusan ini adalah ilmu Al-Quran, tafsir, hadis,
fiqhi, zikir, zuhud, tasawuf, dan syahadah.[18]
Sedangkan Al-Farabi memasukkan studi keagamaan di bawah metafisika
dan ilmu kemasyarakatan. Karena menurutnya, kesempurnaan manusia bisa dicapai kalau manusia dapat memiliki
jenis pengetahuan tertentu dan manusia hidup dalam jenis kehidupan tertentu
pula. Ia merasa pengetahuan yang dibawa agama tidak mencukupi, maka jangan
heran jika dalam karyanya, Ihsan Ulum (Enumeration of the Sciences) yang
di Barat dikenal dengan De Scientist, dia tidak memasukkan studi
keagamaan dalam klasifikasi pengetahuannya.[19]
Kurikulum kedua, yaitu kurikulum ilmu pengetahuan. Ia merupakan
ciri khas fase kedua perlembangan pemikiran umat Islam, yaitu ketika umat Islam
mulai bersentuhan dengan pemikiran Yunani, Persia, dan India. Menurut Mahmud
Yunus, kurikulum untuk pendidikan jenis ini adalah mantik, ilmu alam dan kimia,
musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu-ilmu ukur, ilmu-ilmu falak, ketuhanan, ilmu hewan,
ilmu tumbuh-tumbuhan, dan kedokteran.[20]
Ikhwan Al-Shafa mengklasifikasikan ilmu-ilmu umum kepada:
a)
Disiplin-disiplin umum: tulis-baca, arti kata dan gramatika, ilmu
hitung, sastra (sajak dan puisi) ilmu tentang tanda-tanda dan isyarat, ilmu
sihir dan jimat, kimia, sulap, dagang, dan peternakan, serta biografi dan
kisah.[21]
b)
Ilmu-ilmu filosofis: matematika, logika, ilmu angka-angka,
geometri, astronomi, musik, aritmatika, dan hukum-hukum geometri; ilmu-ilmu
alam dan antropologi zat, bentuk ruang, waktu dan gerakan kosmiologi produksi,
peleburan dan elemen-elemen meteorologi dan minerologi, esensi alam dan
manifestasinya; botani, zoologi; anatomi dan antropologi; persepsi inderawi;
embriologi; manusia sebagai mikro kosmos; perkembangan jiwa (evolusi
psikologis); tubuh dan jiwa; perbedaan bahasa-bahasa (filogi); psikologi dan
teologi-doktrin asoteris Islam, susunan dan spritual; serta ilmu-ilmu alam
ghaib.[22]
Klasifikasi
pengetahuan yang diperkenalkan Al-Farabi adalah: Ilmu bahasa, logika, ilmu
propaedeutic, fisika, ilmu kemasyarakatan. Klasifikasi Al-Farabi ini mengikuti
pemikiran Aristoteles yang silogistik-rasionalistik.[23]
Kurikulum yang
dibuat oleh Al-Khuwarazmi berbeda dengan kurikulum yang dibuat Ikhwan Al-Shafa.
Kurikulumnya menekankan pada pengetahuan yang bersifat praktis dalam
menyelenggarakan tugas-tugas seseorang sebagai menteri dan sekretaris.[24]
Masuknya
ilmu-ilmu asing ke dalam kurikulum pendidikan Islam bukan merupakan bagian dari
pendidikan yang ditawarkan di masjid atau madrasah, tetapi dilakukan di halaqah-halaqah
pribadi atau juga di perpustakaan-perpustakaan, seperti Dar al-Hikmah, dan Bait
al-Hikmah. Syalaby menggambarkan bagaimana giatnya umat Islam mengadakan
penelitian, penerjemahan, diskusi dalam berbagai aspek di kedua lembaga
tersebut.[25]
C.
Madrasah pada Masa Klasik
Sejarah
perkembangan pendidikan Islam dapat diklasifikasi ke dalam empat, yaitu: pertama,
fase pertumbuhan yang berlangsung mulai awal pertumbuhan Islam hingga akhir
daulah Umayyah. Pada fase ini, meski diindikasikan belum ada lembaga pendidikan
yang bernama madrasah, namun Mekah dan Madinah sudah menjadi pusat pendidikan
dan perkembangan intelektual. Hal ini terbukti dengan lahirnya
intelektual-intelektual Islam seperti Imam Ali, Imam Abbas, Imam Jafar Sadiq,
Imam Malik, dan Imam Hambali. Kedua, fase keemasan yang berlangsung
sejak awal berdiri daulah Abbasiyah hingga kemunduran dan keruntuhan Baghdad.
Pada fase ini, madrasah sebagai sebuah terminologi lmbaga pendidikan Islam
mulai digunakan. Pada fase ini pula berdiri Madrasah Nizamiyyah yang kemudian
mewarnai blantika perkembangan madrasah yang muncul sesudahnya. Ketiga, fase
kemunduran yang berlangsung sejak keruntuhan Baghdad samapai akhir kekuasaan
Turki Utsmani. Dan keempat, fase pembaharuan dan rekonstruksi yang
berlangsung sejak abad ke-19 (kemerdekaan negara-negara Islam).[26]
Puncak
perkembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan dalam Islam terjadi pada
pemerintahan Harun Al-Rasyid dan puteranya, Al-Ma’mun. Namun, hal itu tidak
berarti membawa seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa sendiri. Dalam
sejarah pendidikan Islam, makna dari madrasah tersebut memegang peranan penting
sebagai institusi belajar umat Islam selama pertumbuhan dan perkembangannya.
Meskipun madrasah secara definitif baru muncul pada abad ke-11 tetapi
pertumbuhannya merupakan transformasi dari lembaga pendidikan sebelumnya.[27]
Ada beberapa
teori yang berkembang seputar proses transformasi tersebut antara lain George
Maksidi yang dikutip Ahmad Ibrahim Syarif menjelaskan bahwa madrasah merupakan
transformasi dari masjid ke madrasah secara tidak langsung melalui tiga tahap: pertama,
tahap masjid. Kedua, tahap masjid-khan dan ketiga, tahap
madrasah. Tahap Masjid berlangsung pada abad kedelapan dan kesembilan. Masjid
dalam konteks ini bukanlah masjid yang berfungsi sebagai tempat jama’ah shalat
bagi seluruh penduduk kota, yang biasa dikenal dengan masjid jami’. Sedangkan
tahap masjid-khan, yaitu masjid yang dilengkapi dengan bangunan khan (asrama
atau pemondokan yang masih bergandengan dengan masjid).[28]
selain Maksidi,
Ahmad Syalabi menjelaskan bahwa transformasi masjid ke madrasah terjadi secara
langsung. Karena disebabkan konsekwensi logis dari semakin ramainya kegiatan
masjid yang tidak hanya dalam kegiatan ibadah (dalam arti sempit) namun juga
pendidikan, politik dan sebagainya (dalam arti luas). Perkembangan madrasah
dapat dikatakan sebagai konsekwensi logis dari semakin ramainya kegiatan
pengajaran di masjid yang fungsi utamanya adalah tempat ibadah. Untuk tidak
mengganggu ketentraman dalam beribadah di masjid, maka kegiatan pendidikan
dibuatkan tempat khusus yang dikenal dengan madrasah. Akan tetapi masjid yang
dimaksud Ahmad syalabi ini kelihatan sebagai masjid yang telah mengalami
modifikasi, yang telah dilengkapi serambi-serambi belajar dan tempat-tempat
pemondokan bagi mereka yang datang dari jauh. Gambaran masjid seperti ini, menyerupai
apa yang dimaksud Makdisi sebagai masjid-khan. Jika demikian maka tidak ada
perbedaan mendasar antara kedua pendapat itu. Perbedaan hanyalah pada rincian
pentahapannya.[29]
Ali
Al-Jumbulati mengungkapkan bahwa madrasah yang pertama berdiri sebelum abad
ke-10 M. adalah madrasah al-Baihaqiyah di kota Nisabur. Disebut sebagai
al-Baihaqiyah karena didirikan oleh Abu Hasan al-Baihaqi (w. 414 H). Pendapat
ini diperkuat oleh Hasan Ibrahim Hasan. Selanjutnya diperkuat oleh Richard
Bulliet, bahwa dua abad sebelum berdirinya madrasah Nizamiah telah berdiri
madrasah di Nizabur, yaitu madrasah Miyan Dahiya yang mengajarkan Fikih Maliki.[30]
Pada zaman
keemasan Islam, aktivitas-aktivitas kebudayaan pendidikan Islam tidak
mengizinkan teologi dan dogma membatasi ilmu pengetahuan mereka. Mereka
menyelidiki setiap cabang ilmu pengetahuan manusia, baik fisiologi, sejarah,
historiografi, teologi, kedokteran, matematika, logika, jurisprudensi, seni,
arsitektur, atau ilmu keramik.[31]
Pendidikan
Islam secara kelembagaan tampak dalam berbagai bentuk yang bervariasi. Di
samping lembaga-lembaga lain yang mencerminkan kekhasan orientasinya. Secara
umum, pada abad keempat hijriyah dikenal beberapa sistem pendidikan (madaris
al-tarbiyah) Islam.[32]
Sejalan dengan
perkembangan zaman dan tingkat kebutuhan,
mendirikan madrasah di anggap krusial. Pendirian lembaga pendidikan
tinggi Islam ini terjadi di bawah patronase wazir Nizam Al-Mulk (1064 M). biasanya
sebuah madrasah dibangun untuk seorang ahli fiqhi yang termasyhur dalam suatu
mazhab yang empat. Umpamanya Nuruddin Mahmud bin Zanki telah mendirikan di
Damaskus dan Halab beberapa madrasah untuk mazhab Hanafi dan Syafi’I dan telah
dibangun juga sebuah madrasah untuk mazhab ini di kota Mesir.[33]
Hasan Abdul
Al-Al’, menyebut lima sistem dengan klasifikasi sebagai berikut: sistem
pendidikan mu’tazilah, sistem pendidikan ikhwan al-Safa’, sistem pendidikan
bercorak filsafat, sistem pendidikan bercorak tasawuf, dan sistem pendidikan
bercorak fiqhi.[34]
Hasan Muhammad
Hasan dan Nadiyah Muhammad Jamaluddin juga menyebutkan lima sistem,
masing-masing sistem pendidikan bercorak teologi, sistem pendidikan bercorak
syi’ah, sistem pendidikan bercorak tasawuf, sistem pendidikan berccorak
filsafat, dan sistem pendidikan bercorak fiqhi (dan hadis). Pembagiannyang terakhir ini memasukkan sistem
ikhwan al-Safa ke dalam corak filsafat dan memunculkan syi’ah, yang sebenarnya
sedikit atau banyak telah terlihat dalam ikhwan al-Safa.[35]
Institusi yang
dipakai oleh masing-masingnya dapat digambarkan sebagai berikut:
1
Failasuf menggunakan: Dar al-Hikmah, al-Muntadiyat, Hawanit, dan
Waraqi’in.
2
Mutasawwif menggunakan: Al-Zawaya, Al-Rabit, Al-Masajid, dan
Halaqat al-Dzikir.
3
Syi’iyyin menggunakan: Dar al-hikmah, Al-Masajid, pertemuan rahasia.
4
Mutakallimin menggunakan: Al-Masajid, Al-Maktabat, Hawanit,
Al-Warraqin, dan Al-Muntadiyat.
5
Fuqaha (dan ahli hadis): Al-Katatib, Al-Madaris, Al-Masajid.[36]
Melihat data di atas, jelaslah
madrasah merupakan tradisi sistem pendidikan bercorak fiqhi. Masing-masing
sistem di atas memiliki institusi yang khusus walaupun umumnya memanfaatkan
masjid. Namun demikian, madrasah dapat dianggap sebagai tradisi sistem pendidikan bercorak fiqhi dan
hadis.[37]
Berdirinya
madrasah, pada satu sisi, merupakan sumbangan Islam bagi peradaban sesudahnya,
tapi pada sisi lain membawa dampak yang buruk bagi dunia pendidikan setelah
hegemoni negara terlalu kuat terhadap madrasah ini. Akibatnya kurikulum
madrasah ini dibatasi hanya pada wilayah hukum (fiqhi) dan teologi. Menurut
Fazlur Rahman, ada pandangan yang terus-menerus diungkap, yaitu karena ilmu itu
luas dan hidup ini singkat, maka orang harus memberikan prioritas, dan
prioritas itu dengan sendirinya diberikan padda sains-sains agama yang membawa
keyakinan di akhirat. Sedangkan menurut Azra, karena memang lembaga-lembaga ini
dikuasai oleh mereka yang ahli agama, dan tidak kalah pentingnya adalah tidak
otonomnya madrasah dari dana wakaf yang diberikan oleh para dermawan dan
penguasa politik. Motivasi kesalehan mendorong para dermawan untuk mengarahkan
madrasah bergerak dalam bidang ilmu-ilmu agama karena dianggap mendatangkan
pahala. Pada pihak lain, para penguasa politik pemrakarsa pendirian madrasah,
apakah karena didorong oleh motivasi politik atau motivasi murni untuk
menegakkan ortodoksi sunni, sering mendikte madrasah untuk tetap berada dalam
kerangka ortodoksi itu sendiri.[38]
Hal penting
lain, yang perlu dicatat, ialah bahwa institusi pendidikan Islam mengalami perkembangan,
sesuai dengan kebutuhan dan perubahan masyarakat muslim kala itu. Perkembangan
dan kebutuhan masyarakat ditandai oleh:
1
Perkembangan ilmu, kaum muslimin pada awalnya membutuhkan pemahaman
Al-Quran sebagai apa adanya, begitu juga membutuhkan keterampilan membaca dan
menulis. Ibn Khaldun mencatat bahwa pada awal kedatangan Islam orang Quraisy
yang pandai membaca dan menulis hanya berjumlah 17 orang. Semuanya laki-laki.
Pada masa Umawi, masyarakat muslim tekah banyak memerhatikan al-‘ilm
al-naqliyah, yaitu ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Quran Al-Karim yang
meliputi: Al-Tafsir, Al-Qira’at, Al-Hadits dan Ushul fiqhi, dan ‘ulum
al-Lisaniyah seperti ‘ilm lughah, ‘ilmu an-Nahwu, ‘ilmu al-Bayan, dan
al-Adab. Pada masa Abbasiyah sangat mungkin masyarakat muslim mulai
berhubungan dengan al-‘Ulum al-Aqliyah atau ilmu kealaman, seperti
kedokteran, filsafat, dan matematika.
2
Perkembangan kebutuhan, pada masa awal, yang menjadi kebutuhan
utama ialah mendakwahkan Islam. Karena itu,, sasaran pun pada mulanya ditujukan
pada orang-orang dewasa. Ketika keadaan semakin baik, penganut Islam semakin
banyak dan kuat, terdapatlah kebutuhan untuk melakukan pendidikan guru, untuk
pengembangan ilmu, dan untuk kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang lebih maju,
termasuk mempersiapkan pegawai.[39]
[1] Rahmat, Paradigma Pendidikan pada Masa Kejayaan Peradaban Islam (Cet.
I; Makassar: Alauddin University press, 2011), h. 130.
[3] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2004), h. 115.
[7] Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam:
Potret Timur Tengah Era Awal dan
Indonesia, (Cet. I; Ciputat: PT. Ciputat Press Group, 2005), h. 15.
[10]
Suwito & Fauzan, sejarah Sosial Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta:
Kencana, 2008), h. 12.
izin copy
BalasHapus