Kamis, 07 April 2016

KURIKULUM DAN POLA PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN PADA MASA KLASIK ZAMAN KEEMASAN



BAB II
PEMBAHASAN

  A.    Pengertian Kurikulum Pendidikan Islam

Istilah kurikulum berasal dari bahasa latin curriculum yang berarti pelajaran. Selanjutnya kata kurikulum menjadi istilah yang digunakan untuk menunjukkan pada sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai suatu tujuan atau ijazah.[1]
Secara etimologi kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya pelari dan curere yang berarti jarak yang ditempuh oleh pelari. Istilah ini pada mulanya digunakan dalam dunia olahraga yang berarti “a litle race course” (suatu jarak yang harus ditempuh dalam pertandingan olahraga). Berdasarkan pengertian ini, dalam konteksnya dengan dunia pendidikan, memberinya pengertian sebagai “circle of instruction” yaitu suatu lingkaran pengajaran di mana guru dan mood  terlibat di dalamnya.[2] Pada saat itu kurikulum diartikan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa/murid untuk mendapat ijazah. Rumusan kurikulum tersebut mengandung makna bahwa isi kurikulum tidak lain adalah sejumlah mata pelajaran (subjek matter) yang harus dikuasai siswa agar siswa memperoleh ijazah.[3]
Pada masa klasik, pakar pendidikan Islam menggunakan kata al-maddah untuk pengertian kurikulum. Karena pada masa itu kurikulum lebih identik dengan serangkaian mata pelajaran yang harus diberikan pada murid dalam tingkat tertentu.[4]
Kurikulum merupakan landasan yang digunakan pendidikan untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang dininginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental. Ini berarti bahwa proses pendidikan Islam bukanlah suatu proses yang dapat dilakukan secara serampangan, tetapi hendaknya mengacu pada konseptualisasi manusia transformasi sejumlah pengetahuan keterampilan dan sikap mental yang harus tersusun dalam kurikulum pendidikan Islam.[5] Kurikulum merupakan salah satu dari komponen pokok pendidikan, dan kurikulum sendiri juga merupakan sistem yang mempunyai komponen-komponen tertentu. Komponen kurikulum tersebut paling tidak mencakup tujuan, struktur program, strategi pelaksanaan yang menyangkut sistem penyajian pelajaran, penilaian hasil belajar, bimbingan penyuluhan, administrasi, dan supervisi pendidikan.[6]
Jadi, kurikulum pendidikan Islam merupakan landasan yang mengacu pada Al-Quran dan Hadits guna membimbing peserta didik kepada tujuan yang dicita-citakan yakni menjadikan manusia sebagaimana mestinya.

B.     Kurikulum Pendidikan Islam Sebelum Berdirinya Madrasah

Kurikulum pendidikan Islam sebenarnya sudah ada sebelum berdirinya madrasah/sekolah formal. Kelembagaan pendidikan pada masa ini berada di luar pengaruh penguasa, sehingga operasionalnya lebih mandiri, tanpa pesan-pesan politik kenegaraan yang bisa menghambat dinamika ilmiah.[7]
Para ahli membedakan/membagi kurikulum pada saat itu menjadi dua kategori, yaitu kurikulum pendidikan rendah dan kurikulum pendidikan tinggi. Adapun penjelasannya akan diuraikan secara mendetail di bawah ini.
1.      Kurikulum Pendidikan Rendah
Terdapat kesukaran ketika ingin membatasi mata pelajaran-mata pelajaran yang membentuk kurikulum untuk semua tingkat pendidikan yang bermacam-macam. Pertama, karena tidak adanya kurikulum yang terbatas, baik untuk tingkat rendah maupun tingkat penghabisan, kecuali Al-Quran yang terdapat pada seluruh kurikulum. Kedua, kesukaran membedakan di antara fase-fase pendidikan dan lamanya belajar karena tidak ada masa tertentu yang mengikat murid-murid untuk belajar pada setiap lembaga pendidikan.[8]
Sebelum berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalam pendidikan Islam, tetapi hanya satu tingkat yang bermula di kuttab dan berakhir di diskusi halaqah. Tidak ada kurikulum khusus yang diikuti oleh seluruh umat Islam. Di lembaga kuttab biasanya diajarkan membaca dan menulis di samping Al-Quran.[9] Pada awalnya kuttab berfungsi sebagai tempat memberikan pelajaran menulis dan membaca bagi anak-anak.[10] Dalam beberapa hal kadang-kadang ditambah pula dengan mata pelajaran An-Nahwu, cerita-cerita, dan belajar berenang. Ada pula diantaranya kurikulum yang berisi mata pelajaran yang terbatas pada menghafal Al-Quran, dan mengajarkan beberapa dasar-dasar pokok agama. Contoh-contoh yang berikut ini akan menjelaskan kepada kita gambaran dari kurikulum pada pendidikan tingkat pertama. Al-Mufadhdhal bin Yazid menceritakan bahwa pada suatu hari ia melihat seorang anak laki-laki dari seorang perempuan baduwi, oleh karena ibunya tertarik kepada anak itu lalu ia bertanya kepada ibunya tentang anak tersebut. Lalu ia menjawab sebagai berikut: apabila ia telah sampai usia 5 tahun, saya akan menyerahkannya menghafal dan membaca Al-Quran, kemudian ia mengajarkan sya’ir kepadanya sehingga ia dapat mengerti artinya. Dengan demikian, ia suka akan kebanggaan bangsanya dan ia mencari bekas-bekas peninggalan nenek moyangnya. Apabila ia sampai usia dewasa, saya akan mengajarkannya cara mengendarai kuda sehingga ia terlatih dengan baik, kemudian akan mondar-mandir di lorong-lorong kampungnya guna mendengar suara orang-orang yang meminta bantuan.[11]
Sedangkan kurikulum yang ditawarkan oleh Ibnu Sina untuk tingkat ini adalah  mengajari Al-Quran, karena anak-anak dari segi fisik dan mental, telah siap menerima pendiktean, dan pada waktu yang sama diajarkan juga huruf hijaiyah dan dasar agama kemudian syair berikut artinya. Setelah anak-anak belajar Al-Quran dan dasar agama, kemudian diarahkan untuk mempelajari sesuatu yang sesuai dengan kecenderungannya. Kurikulum pada tingkat ini bervariasi tergantung pada tingkat kebutuhan masyarakat.[12]
Namun demikian, ada perbedaan antara kuttab-kuttab yang diperuntukan bagi masyarakat umum dengan yang ada di istana. Di istana, orang tua (para pembesar istana) adalah yang membuat rencana pelajaran tersebut sesuai dengan anaknya dan tujuan yang dikehendakinya. Rencana pelajaran untuk pendidikan istana ialah pidato, sejarah, peperangan-peperangan, cara bergaul dengan masyarakat di samping pengetahuan pokok, seperti Al-Quran, syair dan bahasa.[13] Fase pendidikan dasar ini adalah fase yang terberat bagi anak-anak, karena biasanya ia mempelajari ilmu-ilmu yang dimiliki orang dewasa. Hal ini terjadi oleh sebab mata pelajaran-mata pelajaran mempunyai hubungan dengan kesukaan anak-anak, seperti menggambar, pekerjaan-pekerjaan tangan, menyanyi, musik, permainan-permainan, cerita-cerita, mempelajari alam sekitar, bahasa, mempelajari angka-angka dalam bentuk sederhana yang sesuai dengan kemampuan anak-anak sebelum diketahui orang pada waktu itu. Hal-hal yang semacam ini secara relatif baru saja ditemukan. Demikian pula mempelajari keinginan anak-anak secara ilmiah masih merupakan semacam pengetahuan baru. Kurikulum yang telah dipakai pada waktu itu adalah kurikulum yang berisi mata pelajaran yang dipelajari sepanjang masa-masa Islam yang berabad-abad lamanya, dan yang senantiasa terpengaruh dengan keinginan orang dewasa di dalam mempersiapkannya. Sejalan dengan itu pula anak-anak mempelajari sesuatu yang berada di luar kemampuannya dengan satu anggapan bahwa mempelajari hal yang semacam itu akan memberi faedah pada fase-fase pendidikan sesudahnya. Untuk mencapai tujuan itu, maka dikorbankanlah  keinginan-keinginan dan kemampuan-kemampuan yang dimiliki sekarang ini, yang seharusnya dipenuhi dan dikembangkan guna mencapai pertumbuhan dan pembentukannya yang lebih sempurna. Ini merupakan suatu kesalahan yang pernah dilakukan oleh pendidik-pendidik Islam yang tidak dapat diterima oleh pendidik modern sekarang ini.[14]
Di samping itu, dalam kurikulum tersebut terdapat pula mata pelajaran lain yang mengandung nilai praktis, seperti berenang, melemparkan lembing, dan berhitung. Cuma saja satu kekurangan dalam hal ini, karena tidak semua kurikulum mencamtumkan mata pelajaran seperti ini.[15]

2.      Kurikulum Pendidikan Tinggi
Kurikulum pendidikan tinggi, halaqah kalau mau menyebut demikian bervariasi tergantung pada syekh yang mau mengajar. Para mahasiswa tidak terikat untuk mempelajari mata pelajaran tertentu, demikian juga guru tidak mewajibkan kepada mahasiswa untuk mengikuti kurikulum tertentu. Mahasiswa bebas mengikuti pelajaran di sebuah halaqah dan berpindah dari sebuah halaqah ke halaqah yang lain, bahkan dari satu kota ke kota yang lain. Menurut Rahman, pendidikan jenis ini disebut pendidikan orang dewasa karena diberikan kepada orang yang tujuan utamanya adalah untuk mengajarkan mereka mengenai Al-Quran dan agama. Kurikulum pada tingkat ini dibagi kepada dua jurusan, jurusan ilmu-ilmu agama dan jurusan ilmu-ilmu pengetahuan.[16]
Kedua macam kurikulum ini sejalan dengan dua masa transisi penting dalam perkembangan pemikiran Islam. Kurikulum pertama adalah sejalan dengan fase di mana dunia Islam mempersiapkan diri untuk mendalami masalah agama , menyiarkan dan mempertahankannya. Namun pada agama itu tidaklah terbatas pada ilmu agama an sich, tetapi dilengkapi juga dengan ilmu-ilmu bahasa, ilmu sejarah, hadis dan tafsir. Menurut Mahmud Yunus, kurikulum jurusan ini adalah tafsir Al-Quran, hadis, fiqhi dan ushul fiqhi, nahwu saraf, balaghah, bahasa dan sastranya.[17]
Al-Khuwarazmi (Yusuf Al-Katib, tahun 976) dalam bukunya, Mafatih al-Ulum meringkas kurikulum agama sebagai berikut: ilmu fiqhi, ilmu nahwu, ilmu kalam, ilmu kitabah (sekretaris), ilmu arudh. Ilmu sejarah (terutama sejarah Persia, sejarah Islam, sejarah sebelum Islam, sejarah Yunani dan Romawi). Di samping itu, juga diajarkan juga matematika dasar, karena banyak digunakan untuk ilmu faraid dan pembuatan Taqwim (mencocokkan tahun Hijriah dengan tahun Masehi), sedangkan yang ditulis dalam risalah ikhwan al-shafa, kurikulum untuk jurusan ini adalah ilmu Al-Quran, tafsir, hadis, fiqhi, zikir, zuhud, tasawuf, dan syahadah.[18]
Sedangkan Al-Farabi memasukkan studi keagamaan di bawah metafisika dan ilmu kemasyarakatan. Karena menurutnya, kesempurnaan manusia  bisa dicapai kalau manusia dapat memiliki jenis pengetahuan tertentu dan manusia hidup dalam jenis kehidupan tertentu pula. Ia merasa pengetahuan yang dibawa agama tidak mencukupi, maka jangan heran jika dalam karyanya, Ihsan Ulum (Enumeration of the Sciences) yang di Barat dikenal dengan De Scientist, dia tidak memasukkan studi keagamaan dalam klasifikasi pengetahuannya.[19]
Kurikulum kedua, yaitu kurikulum ilmu pengetahuan. Ia merupakan ciri khas fase kedua perlembangan pemikiran umat Islam, yaitu ketika umat Islam mulai bersentuhan dengan pemikiran Yunani, Persia, dan India. Menurut Mahmud Yunus, kurikulum untuk pendidikan jenis ini adalah mantik, ilmu alam dan kimia, musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu-ilmu ukur, ilmu-ilmu falak, ketuhanan, ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan, dan kedokteran.[20]
Ikhwan Al-Shafa mengklasifikasikan ilmu-ilmu umum kepada:
a)      Disiplin-disiplin umum: tulis-baca, arti kata dan gramatika, ilmu hitung, sastra (sajak dan puisi) ilmu tentang tanda-tanda dan isyarat, ilmu sihir dan jimat, kimia, sulap, dagang, dan peternakan, serta biografi dan kisah.[21]
b)      Ilmu-ilmu filosofis: matematika, logika, ilmu angka-angka, geometri, astronomi, musik, aritmatika, dan hukum-hukum geometri; ilmu-ilmu alam dan antropologi zat, bentuk ruang, waktu dan gerakan kosmiologi produksi, peleburan dan elemen-elemen meteorologi dan minerologi, esensi alam dan manifestasinya; botani, zoologi; anatomi dan antropologi; persepsi inderawi; embriologi; manusia sebagai mikro kosmos; perkembangan jiwa (evolusi psikologis); tubuh dan jiwa; perbedaan bahasa-bahasa (filogi); psikologi dan teologi-doktrin asoteris Islam, susunan dan spritual; serta ilmu-ilmu alam ghaib.[22]
Klasifikasi pengetahuan yang diperkenalkan Al-Farabi adalah: Ilmu bahasa, logika, ilmu propaedeutic, fisika, ilmu kemasyarakatan. Klasifikasi Al-Farabi ini mengikuti pemikiran Aristoteles yang silogistik-rasionalistik.[23]
Kurikulum yang dibuat oleh Al-Khuwarazmi berbeda dengan kurikulum yang dibuat Ikhwan Al-Shafa. Kurikulumnya menekankan pada pengetahuan yang bersifat praktis dalam menyelenggarakan tugas-tugas seseorang sebagai menteri dan sekretaris.[24]
Masuknya ilmu-ilmu asing ke dalam kurikulum pendidikan Islam bukan merupakan bagian dari pendidikan yang ditawarkan di masjid atau madrasah, tetapi dilakukan di halaqah-halaqah pribadi atau juga di perpustakaan-perpustakaan, seperti Dar al-Hikmah, dan Bait al-Hikmah. Syalaby menggambarkan bagaimana giatnya umat Islam mengadakan penelitian, penerjemahan, diskusi dalam berbagai aspek di kedua lembaga tersebut.[25]

C.    Madrasah pada Masa Klasik

Sejarah perkembangan pendidikan Islam dapat diklasifikasi ke dalam empat, yaitu: pertama, fase pertumbuhan yang berlangsung mulai awal pertumbuhan Islam hingga akhir daulah Umayyah. Pada fase ini, meski diindikasikan belum ada lembaga pendidikan yang bernama madrasah, namun Mekah dan Madinah sudah menjadi pusat pendidikan dan perkembangan intelektual. Hal ini terbukti dengan lahirnya intelektual-intelektual Islam seperti Imam Ali, Imam Abbas, Imam Jafar Sadiq, Imam Malik, dan Imam Hambali. Kedua, fase keemasan yang berlangsung sejak awal berdiri daulah Abbasiyah hingga kemunduran dan keruntuhan Baghdad. Pada fase ini, madrasah sebagai sebuah terminologi lmbaga pendidikan Islam mulai digunakan. Pada fase ini pula berdiri Madrasah Nizamiyyah yang kemudian mewarnai blantika perkembangan madrasah yang muncul sesudahnya. Ketiga, fase kemunduran yang berlangsung sejak keruntuhan Baghdad samapai akhir kekuasaan Turki Utsmani. Dan keempat, fase pembaharuan dan rekonstruksi yang berlangsung sejak abad ke-19 (kemerdekaan negara-negara Islam).[26]
Puncak perkembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan dalam Islam terjadi pada pemerintahan Harun Al-Rasyid dan puteranya, Al-Ma’mun. Namun, hal itu tidak berarti membawa seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa sendiri. Dalam sejarah pendidikan Islam, makna dari madrasah tersebut memegang peranan penting sebagai institusi belajar umat Islam selama pertumbuhan dan perkembangannya. Meskipun madrasah secara definitif baru muncul pada abad ke-11 tetapi pertumbuhannya merupakan transformasi dari lembaga pendidikan sebelumnya.[27]
Ada beberapa teori yang berkembang seputar proses transformasi tersebut antara lain George Maksidi yang dikutip Ahmad Ibrahim Syarif menjelaskan bahwa madrasah merupakan transformasi dari masjid ke madrasah secara tidak langsung melalui tiga tahap: pertama, tahap masjid. Kedua, tahap masjid-khan dan ketiga, tahap madrasah. Tahap Masjid berlangsung pada abad kedelapan dan kesembilan. Masjid dalam konteks ini bukanlah masjid yang berfungsi sebagai tempat jama’ah shalat bagi seluruh penduduk kota, yang biasa dikenal dengan masjid jami’. Sedangkan tahap masjid-khan, yaitu masjid yang dilengkapi dengan bangunan khan (asrama atau pemondokan yang masih bergandengan dengan masjid).[28]
selain Maksidi, Ahmad Syalabi menjelaskan bahwa transformasi masjid ke madrasah terjadi secara langsung. Karena disebabkan konsekwensi logis dari semakin ramainya kegiatan masjid yang tidak hanya dalam kegiatan ibadah (dalam arti sempit) namun juga pendidikan, politik dan sebagainya (dalam arti luas). Perkembangan madrasah dapat dikatakan sebagai konsekwensi logis dari semakin ramainya kegiatan pengajaran di masjid yang fungsi utamanya adalah tempat ibadah. Untuk tidak mengganggu ketentraman dalam beribadah di masjid, maka kegiatan pendidikan dibuatkan tempat khusus yang dikenal dengan madrasah. Akan tetapi masjid yang dimaksud Ahmad syalabi ini kelihatan sebagai masjid yang telah mengalami modifikasi, yang telah dilengkapi serambi-serambi belajar dan tempat-tempat pemondokan bagi mereka yang datang dari jauh. Gambaran masjid seperti ini, menyerupai apa yang dimaksud Makdisi sebagai masjid-khan. Jika demikian maka tidak ada perbedaan mendasar antara kedua pendapat itu. Perbedaan hanyalah pada rincian pentahapannya.[29]
Ali Al-Jumbulati mengungkapkan bahwa madrasah yang pertama berdiri sebelum abad ke-10 M. adalah madrasah al-Baihaqiyah di kota Nisabur. Disebut sebagai al-Baihaqiyah karena didirikan oleh Abu Hasan al-Baihaqi (w. 414 H). Pendapat ini diperkuat oleh Hasan Ibrahim Hasan. Selanjutnya diperkuat oleh Richard Bulliet, bahwa dua abad sebelum berdirinya madrasah Nizamiah telah berdiri madrasah di Nizabur, yaitu madrasah Miyan Dahiya yang mengajarkan Fikih Maliki.[30]
Pada zaman keemasan Islam, aktivitas-aktivitas kebudayaan pendidikan Islam tidak mengizinkan teologi dan dogma membatasi ilmu pengetahuan mereka. Mereka menyelidiki setiap cabang ilmu pengetahuan manusia, baik fisiologi, sejarah, historiografi, teologi, kedokteran, matematika, logika, jurisprudensi, seni, arsitektur, atau ilmu keramik.[31]
Pendidikan Islam secara kelembagaan tampak dalam berbagai bentuk yang bervariasi. Di samping lembaga-lembaga lain yang mencerminkan kekhasan orientasinya. Secara umum, pada abad keempat hijriyah dikenal beberapa sistem pendidikan (madaris al-tarbiyah) Islam.[32]
Sejalan dengan perkembangan zaman dan tingkat kebutuhan,  mendirikan madrasah di anggap krusial. Pendirian lembaga pendidikan tinggi Islam ini terjadi di bawah patronase wazir Nizam Al-Mulk (1064 M). biasanya sebuah madrasah dibangun untuk seorang ahli fiqhi yang termasyhur dalam suatu mazhab yang empat. Umpamanya Nuruddin Mahmud bin Zanki telah mendirikan di Damaskus dan Halab beberapa madrasah untuk mazhab Hanafi dan Syafi’I dan telah dibangun juga sebuah madrasah untuk mazhab ini di kota Mesir.[33]
Hasan Abdul Al-Al’, menyebut lima sistem dengan klasifikasi sebagai berikut: sistem pendidikan mu’tazilah, sistem pendidikan ikhwan al-Safa’, sistem pendidikan bercorak filsafat, sistem pendidikan bercorak tasawuf, dan sistem pendidikan bercorak fiqhi.[34]
Hasan Muhammad Hasan dan Nadiyah Muhammad Jamaluddin juga menyebutkan lima sistem, masing-masing sistem pendidikan bercorak teologi, sistem pendidikan bercorak syi’ah, sistem pendidikan bercorak tasawuf, sistem pendidikan berccorak filsafat, dan sistem pendidikan bercorak fiqhi (dan hadis).  Pembagiannyang terakhir ini memasukkan sistem ikhwan al-Safa ke dalam corak filsafat dan memunculkan syi’ah, yang sebenarnya sedikit atau banyak telah terlihat dalam ikhwan al-Safa.[35]
Institusi yang dipakai oleh masing-masingnya dapat digambarkan sebagai berikut:
1        Failasuf menggunakan: Dar al-Hikmah, al-Muntadiyat, Hawanit, dan Waraqi’in.
2        Mutasawwif menggunakan: Al-Zawaya, Al-Rabit, Al-Masajid, dan Halaqat al-Dzikir.
3        Syi’iyyin menggunakan: Dar al-hikmah, Al-Masajid, pertemuan rahasia.
4        Mutakallimin menggunakan: Al-Masajid, Al-Maktabat, Hawanit, Al-Warraqin, dan Al-Muntadiyat.
5        Fuqaha (dan ahli hadis): Al-Katatib, Al-Madaris, Al-Masajid.[36]
Melihat data di atas, jelaslah madrasah merupakan tradisi sistem pendidikan bercorak fiqhi. Masing-masing sistem di atas memiliki institusi yang khusus walaupun umumnya memanfaatkan masjid. Namun demikian, madrasah dapat dianggap sebagai  tradisi sistem pendidikan bercorak fiqhi dan hadis.[37]
Berdirinya madrasah, pada satu sisi, merupakan sumbangan Islam bagi peradaban sesudahnya, tapi pada sisi lain membawa dampak yang buruk bagi dunia pendidikan setelah hegemoni negara terlalu kuat terhadap madrasah ini. Akibatnya kurikulum madrasah ini dibatasi hanya pada wilayah hukum (fiqhi) dan teologi. Menurut Fazlur Rahman, ada pandangan yang terus-menerus diungkap, yaitu karena ilmu itu luas dan hidup ini singkat, maka orang harus memberikan prioritas, dan prioritas itu dengan sendirinya diberikan padda sains-sains agama yang membawa keyakinan di akhirat. Sedangkan menurut Azra, karena memang lembaga-lembaga ini dikuasai oleh mereka yang ahli agama, dan tidak kalah pentingnya adalah tidak otonomnya madrasah dari dana wakaf yang diberikan oleh para dermawan dan penguasa politik. Motivasi kesalehan mendorong para dermawan untuk mengarahkan madrasah bergerak dalam bidang ilmu-ilmu agama karena dianggap mendatangkan pahala. Pada pihak lain, para penguasa politik pemrakarsa pendirian madrasah, apakah karena didorong oleh motivasi politik atau motivasi murni untuk menegakkan ortodoksi sunni, sering mendikte madrasah untuk tetap berada dalam kerangka ortodoksi itu sendiri.[38]
Hal penting lain, yang perlu dicatat, ialah bahwa institusi pendidikan Islam mengalami perkembangan, sesuai dengan kebutuhan dan perubahan masyarakat muslim kala itu. Perkembangan dan kebutuhan masyarakat ditandai oleh:
1        Perkembangan ilmu, kaum muslimin pada awalnya membutuhkan pemahaman Al-Quran sebagai apa adanya, begitu juga membutuhkan keterampilan membaca dan menulis. Ibn Khaldun mencatat bahwa pada awal kedatangan Islam orang Quraisy yang pandai membaca dan menulis hanya berjumlah 17 orang. Semuanya laki-laki. Pada masa Umawi, masyarakat muslim tekah banyak memerhatikan al-‘ilm al-naqliyah, yaitu ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Quran Al-Karim yang meliputi: Al-Tafsir, Al-Qira’at, Al-Hadits dan Ushul fiqhi, dan ‘ulum al-Lisaniyah seperti ‘ilm lughah, ‘ilmu an-Nahwu, ‘ilmu al-Bayan, dan al-Adab. Pada masa Abbasiyah sangat mungkin masyarakat muslim mulai berhubungan dengan al-‘Ulum al-Aqliyah atau ilmu kealaman, seperti kedokteran, filsafat, dan matematika.
2        Perkembangan kebutuhan, pada masa awal, yang menjadi kebutuhan utama ialah mendakwahkan Islam. Karena itu,, sasaran pun pada mulanya ditujukan pada orang-orang dewasa. Ketika keadaan semakin baik, penganut Islam semakin banyak dan kuat, terdapatlah kebutuhan untuk melakukan pendidikan guru, untuk pengembangan ilmu, dan untuk kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang lebih maju, termasuk mempersiapkan pegawai.[39]




[1] Rahmat, Paradigma Pendidikan pada Masa Kejayaan Peradaban Islam (Cet. I; Makassar: Alauddin University press, 2011), h. 130.
[2] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam (Cet. III; Jakarta: Kencana, 2009), h. 126.

[3] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), h. 115.

[4] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, h. 115.
[5] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, h. 126-127.
[6] Abdul Mujib & Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2008), h. 120.
[7] Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam: Potret Timur Tengah Era Awal  dan Indonesia, (Cet. I; Ciputat: PT. Ciputat Press Group, 2005), h. 15.
[8] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, h. 116.
[9] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, h. 116.

[10] Suwito & Fauzan, sejarah Sosial Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2008), h. 12.
[11] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, h. 127.
[12] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, h. 117 & 118
[13] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, h. 117-118.
[14] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, h. 128.
[15] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, h. 128.
[16] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, h. 129.
[17] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, h. 120.
[18] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, h. 120.
[19] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, h. 129 & 130.
[20] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, h. 130.
[21] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, h. 121 & 122.
[22] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, h. 122.
[23] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, h. 122.
[24] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, h. 123.
[25] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, h. 123.

[26] Rahmat, Paradigma Pendidikan pada Masa Kejayaan Peradaban Islam , h. 124.
[27] Rahmat, Paradigma Pendidikan pada Masa Kejayaan Peradaban Islam, h. 125 & 126.
[28] Rahmat, Paradigma Pendidikan pada Masa Kejayaan Peradaban Islam , h. 126.
[29] Rahmat, Paradigma Pendidikan pada Masa Kejayaan Peradaban Islam , h. 127 & 128.
[30] Rahmat, Paradigma Pendidikan pada Masa Kejayaan Peradaban Islam , h. 128.
[31] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, h. 123.
[32] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, h. 130.
[33] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, h. 124.
[34] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, h. 130.
[35] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, h. 130 &131.
[36] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, h. 131.
[37] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, h. 131.
[38] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, h. 125.

[39] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, h. 131 & 132.

1 komentar: